Razia Buku Kiri Dinilai Mengingkari Prinsip Negara Hukum

Buku bertemakan komunisme dan PKI dari berbagai judul diamankan aparat gabungan
Sumber :
  • istimewa

VIVA - Aparat gabungan TNI dan Kejaksaan Negeri menyita enam eksemplar dari tiga buku yang disinyalir isinya mengandung paham komunis, di toko buku Nagare Boshi yang berada di kawasan Jalan Hos Cokroaminoto, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa sore, 8 Desember 2019.

Meski pemilik toko sudah menjelaskan ketiga buku berjudul Kronik 65, Jasmerah, dan Mengincar Bung Besar itu berisi tentang informasi sejarah dan memiliki izin edar hingga International Standard Book Number (ISBN), namun aparat tetap melakukan penyitaan, dengan dasar isi buku itu disinyalir berhaluan kiri.

Menanggapi itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai sweeping hingga penyitaan buku-buku itu mengingkari prinsip negara hukum. Apalagi, konten dari sejumlah buku tersebut berisikan kronik tentang sejarah perjalanan bangsa ini, yang menjadi hak publik untuk mengetahuinya.

Sinopsis Film Kupu-Kupu Kertas, Kisah Cinta Amanda Manopo Terhalang Konflik NU dan PKI

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyu Wagiman, melalui pers rilis menegaskan ELSAM menolak keras semua bentuk penyapuan atau pengamanan buku yang dilakukan secara sewenang-wenang.

"Tindakan tersebut telah mengingkari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi, selain juga tak sejalan dengan prinsip due process of law," kata Wahyu, Kamis, 10 Desember 2019.

Ambil Peran di Film Bertema Sejarah, Amanda Manopo Rasakan Jadi Anak Anggota PKI

Dengan demikian, kata Wahyu, ELSAM mengingatkan kembali perihal pentingnya proses pengungkapan kebenaran dan penyelesaian tuntas atas berbagai dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Publik memiliki hak untuk tahu, atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sehingga mendapatkan narasi sejarah bangsa yang lebih berimbang. Situasi hari ini memperlihatkan, bangsa ini masih terbelenggu dengan berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, khususnya dalam konteks komunisme/marxisme, yang kerap digunakan sebagai instrumen politik elektoral, yang imbasnya justru mencederai jaminan kebebasan warga negara.

Selain itu kata Wahyu, aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, secara konsisten menjalankan mandat konstitusi dan undang-undang, termasuk dalam melakukan tindakan perampasan terhadap kebebasan, yang terlebih dahulu harus melalui sistem peradilan (due process of law).

Dan melanjutkan proses reformasi militer, untuk membangun institusi dan personel militer yang profesional, sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No. 7/MPR/2000, Pasal 30 UUD 1945, maupun UU TNI sendiri. Termasuk memperkuat kontrol sipil demokratis terhadap militer, sebagai aplikasi dari prinsip supremasi sipil dan demokrasi.

Menurut Wahyu, tindakan penyapuan dan pelarangan didasarkan pada TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU No. 27/1999, tentang larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, leninisme. Namun, meski aturan tersebut secara konstitusional dapat dikatakan tidak lagi sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan menyebarkannya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Bahkan kata Wahyu, Mahkamah Konstitusi sendiri dalam putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada pengujian UU 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Barang-Barang Cetakan, berpendapat bahwa pelarangan dan penyitaan buku yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tanpa proses peradilan merupakan bentuk pelanggaran terhadap negara hukum (rule of law).

"Tindakan itu, sama juga dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang, yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik," ujar Wahyu.

Wahyu menjelaskan, menurut MK, tindakan pelarangan atau pembatasan terhadap suatu kebebasan termasuk buku sebagai pengetahuan dan informasi, tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki adanya due process of law.

MK juga menegaskan tindakan pembatasan yang demikian, bertentangan dengan kaidah pembatasan yang diatur oleh Pasal 28J UUD 1945. Dengan pertimbangan tersebut, MK kemudian membatalkan UU No. 4/PNPS/1963, yang secara otomatis pula membubarkan tim pelarangan buku yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung.

"Dengan demikian, segala tindakan penyapuan dan pelarangan terhadap buku-buku kiri, sesungguhnya telah kehilangan legitimasi dan dasar hukum, serta menyalahi prinsip-prinsip due process of law. Putusan MK di atas menghendaki setiap tindakan pelarangan, haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui suatu proses peradilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi," ujar Wahyu.

Seharusnya, kata Wahyu, setiap tindakan pelarangan harus melalui suatu proses penegakan hukum, untuk menentukan ada tidaknya unsur pelanggaran hukum di dalamnya. Artinya, tindakan penyapuan dengan alasan pengamanan, yang dilakukan oleh aparat militer, dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang melampau wewenang. Sebab, jika mengacu pada UU No. 34/2004 tentang TNI, militer bukanlah bagian dari penegak hukum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya