Kasus Robertus Robet, Polri Tegaskan Kebebasan Tak Absolut

Robertus Robet.
Sumber :
  • Syaefullah/VIVA.co.id

VIVA – Polisi hingga kini masih memburu penyebar orasi dosen dan aktivis HAM, Robertus Robet. Direktorat Siber Bareskrim Polri masih melakukan profiling terhadap akun yang menyebarkan video tersebut.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

"Secara teknis sudah dilakukan Ditsiber akun yang menyebarkan melalui facebook, youtube dan twitter sudah diprofiling," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Maret 2019.

Namun, Dedi menuturkan jika akun tersebut ditemukan maka penyidik akan melakukan gelar perkara. Gelar perkara tersebut, kata Dedi, akan mengundang ahli baik ahli pidana dan ahli ITE.

Soal Kasus Pencemaran Nama Baik yang Dilaporkan Pengelola ABC Ancol, Ini Kata Polisi

Apabila dari gelar perkara tersebut ditemukan adanya tindak pidana maka penyidik akan melakukan upaya penegakan hukum layaknya kasus penyebar hoax lainnya seperti hoax Ratna Sarumpaet, tujuh kontainer dan tiga emak-emak di Karawang.

"Apabila masuk kontruksi hukum maka penyidik akan menindak seperti halnya penyebar berita hoax lainnya saat tersangka RS, tujuh kontainer, dan tiga emak-emak, proses berlaku secara equal," ujarnya.

Kritik Guru Besar Kampus ke Jokowi Diduga untuk Kepentingan Elektoral Paslon Tertentu

Penangkapan dosen dan aktivis HAM, Robertus Robet mendapatkan kecaman beberapa pihak. Mereka menilai, penangkapan Robertus mengekang kebebasan berpendapat di muka umum. Namun Dedi menegaskan, penanganan kasus Robertus dilakukan secara profesional.

"Kita profesional. Makanya di dalam kebebasan berekspresi menyampaikan pendapat di muka umum itu kan dilindungi UU nomor 9 tahun 1998. Negara sudah memprotek bahwa warga negara boleh berekspresi," ungkapnya.

Tak Absolut

Hanya saja, UU kebebasan berpendapat tidak bersifat absolut. Untuk itu, setiap warga negara yang ingin menyampaikan harus memperhatikan batasan-batasan yang harus ditaati sesuai Pasal 6 UU nomor 9 tahun 1998. Dalam pasal 6 disebutkan menyampaikan kebebasan di muka umum harus memperhatikan lima hal.

"Pertama harus menghargai hak orang lain, kedua harus menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, ketiga mentaati hukum dan peraturan perundangan berlaku, keempat menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Yang paling penting menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Ini harus dijaga bersama," ujar Dedi.

Dedi menambahkan, apabila menyampaikan pendapat sebebasnya dan semaunya, sementara ada pihak yang dirugikan dari ucapan dan narasi yang disampaikan yang sangat jauh dari fakta dan data yang disampaikan secara verbal itu kan merugikan pihak lain.

"Apakah yang disampaikan benar apa tidak. Ternyata data tak terklarifikasi belum terkonfirmasi sama dengan penyebaran berita bohong. Pihak yang merasa dirugikan itu boleh menuntut," katanya.

Terkait proses penangkapan yang begitu cepat, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah ini menuturkan hal tersebut merupakan kewenangan penyidik.

Penyidik melalui diskresi Kepolisian dengan berbagai macam perhitungan dan pertimbangan dari aspek keamanan dan ketertiban masyarakat serta kegaduhan media sosial memutuskan hal tersebut.

"Jangan sampai kegaduhan di media sosial bisa jadi gaduh di dunia nyata. Ini yang di mitigasi Kepolisian. Oleh karenanya polisi secara proaktif melakukan langkah penegakan hukum.” (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya