Penyebar Hoax Dijerat UU Terorisme, Polri: Tergantung Fakta Hukum

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Direktur Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pol Rachmad Wibowo (kiri), Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, pelaku penyebaran hoax bisa saja dijerat UU Terorisme. Hal tersebut tergantung dari temuan fakta hukum yang ada.

Raffi Ahmad Geram Dituduh Lakukan Pencucian Uang, Begini Responnya

Hal itu dikemukakan Dedi menanggapi wacana yang tengah berkembang terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, bahwa kalangan yang menjadi penyebar berita bohong atau hoax menjelang pemungutan suara Pemilu 2019, akan dijerat Undang-undang Terorisme.

Menurut Dedi, sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018 pasal 1 huruf 1 ada unsur yang menjelaskan bahwa memang pelaku penyebaran hoax bisa dijerat UU terorisme, jika ada unsur ancaman kekerasan dan menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas.

Tanggapi Berita Hoax, Depe: Setiap yang Viral, di Situ Ada Dewi Perssik!

"Nanti dari sisi perspektif hukumnya penyidik akan membuktikan dulu siapa yang bersangkutan kemudian latar belakangnya apa. Kemudian mens rea unsur kesengajaan untuk membuat rasa cemas takut dan tentu intimidasi psikologis itu bisa dikenakan juga pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2018," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 21 Maret 2019.

Apabila pelakunya memiliki jaringan atau masuk ke dalam satu jaringan terorisme, kata Dedi, perlu pendalaman dan memeriksa saksi ahli untuk menguatkan konstruksi hukum. Kemudian, pelaku juga bisa diterapkan pasal 43a sebagai upaya-upaya pencegahan dan mitigasi berita-berita atau narasi-narasi, foto, video yang sengaja diviralkan oleh orang-orang tertentu.

Dikabarkan Meninggal Dunia, Gilang Dirga Tak Marah, Kenapa?

Kedua, terkait penegakan hukum yang lain, menurut Dedi, apabila nanti dalam proses pembuktiannya masyarakat ini adalah masyarakat biasa dan unsur mens rea-nya hanya iseng, pelaku dijerat UU ITE pasal 27 dan pasal 45 serta UU Nomor 1 Tahun 1946 pasal 14 dan 15.

"Jadi proses penegakan hukumnya sangat tergantung dari hasil analisa dan secara komprehensif oleh penyidik, artinya penyidik secara profesional ya melihat itu berdasarkan fakta hukum," ujarnya.

Jika berkaitan dengan pemilu, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah ini menyebut leading sektornya adalah Bawaslu. Nantinya, Bawaslu akan meng-assement terlebih dahulu apakah penyebar hoax ini masuk tim sukses pasangan calon atau tidak.

Menurut Dedi, kalau masuk dalam timses paslon, Bawaslu akan menentukan apakah hal tersebut masuk dalam pelanggaran pemilu atau pidana pemilu. Jika masuk pelanggaran pemilu akan diselesaikan Bawaslu. Namun jika masuk pidana pemilu akan diserahkan ke sentra Gakkumdu yang terdiri dari Bawaslu, Kejaksaan dan Polri.

"Kalau misal Bawaslu assement bukan dari timses maka dilimpahkan kepolisian. Kenapa? Karena bukan UU tindak pidana pemilu. Pidana umum narasinya seperti apa misalnya penghinaan, masuk fakta-fakta penghinaan," katanya.

Atas hal tersebut, ia menegaskan, pemberlakuan UU terorisme kepada penyebar hoax harus berdasarkan pada temuan apakah pelaku tersebut masuk dalam jaringan terorisme atau tidak.

"Contoh soal hoax tujuh kontainer dan emak-emak (di Karawang). Itu gakkumdu hasilnya bukan timses. Makanya pidana umum. Dan dia bukan jaringan teroris makanya enggak dikenakan UU teroris," ujarnya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya