Pemerintah RI Menang Gugatan Lawan Perusahaan Tambang Asing

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Pemerintah Indonesia berhasil memenangkan gugatan arbitrase internasional yang dilayangkan oleh dua perusahaan tambang asing, yaitu Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd.

PN Jaksel Diyakini Tolak Gugatan atas Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyatakan, keberhasilan tim legal pemerintah Indonesia atas gugatan arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat patut diapresiasi.

Kemenangan itu, kata Yasonna, menjadi pembelajaran berharga bagi Pemerintah Indonesia dalam menerima dan menghadapi para investor asing yang memiliki niat jahat terhadap pemerintah.

Yusril: Saya Siap Jadi Konsultan dan Lawyer Pemerintah Hadapi Berbagai Gugatan di Luar Negeri

"Menangnya kita ini, ini merupakan pembelajaran bagi kita sekaligus ini peringatan bagi para investor asing yang ingin masuk dan punya rencana tidak baik di Indonesia," kata Yasonna H. Laoly di kantor Kemenkumham RI, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin 25 Maret 2019.

Ia menjelaskan, dalam proses panjang menghadapi gugatan dua perusahaan tambang asing itu, pemerintah Indonesia telah berhasil meyakinkan Komite ICSID melalui Tribunal ICSID, dengan sejumlah bukti dan keterangan ahli forensik yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait adanya pemalsuan sejumlah dokumen yang diduga dibuat menggunakan mesin autopen oleh para penggugat.

China Klaim Tanah Reklamasi di Laut China Selatan yang Disengketakan, Filipina Nyatakan Keprihatinan

"Terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah," ujarnya.

Tribunal ICSID, lanjut Yasonna, sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.
 
Selain itu, kata Yasonna, Tribunal ICSID juga menemukan bukti bahwa Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence). Sehingga berdasarkan dengan fakta dan pertimbangan tersebut, Tribunal ICSID menyatakan klaim dari Para Penggugat ditolak.

"Sehingga Indonesia terhindar dari klaim sebesar US$1.3 Miliar (sekitar Rp18 Triliun) yang sempat diajukan oleh Para Penggugat. Dan Tribunal ICSID meminta Para Penggugat mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia yaitu dengan membayar penggantian biaya perkara sebesar US$9.4 Juta, ini merupakan yang terbesar yang pernah diputus Tribunal ICSID," kata Yasonna.

Jalan Panjang

Yasonna Laoly menjelaskan, kasus ini bermula saat Para Penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia.

Pelanggaran dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/ Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) terhadap anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 Km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010.

Para Penggugat mengklaim bahwa pelanggaran tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar US$1.3 Miliar (lebih kurang Rp18 Triliun).

Kasus yang berjalan sekitar 9 tahun ini berlangsung sangat alot. Yasonna menjelaskan, pengadilan atau Tribunal ICSID yang terdiri dari Professor Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michael Hwang SC, dan Professor Albert Jan van den Berg pada tanggal 6 Desember 2016 sempat memutuskan menolak semua gugatan Para Penggugat.

Namun, Pada tanggal 31 Maret 2017 Para Penggugat kembali menyatakan menolak putusan Tribunal ICSID dengan mengajukan permohonan pembatalan putusan (annulment of the award) berdasarkan Pasal 52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Konvensi ICSID) dengan berbagai macam argumentasinya.

Selain mengajukan permohonan Pembatalan Putusan, Para Penggugat juga meminta penghentian sementara pelaksanaan putusan Tribunal ICSID yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM mensyaratkan adanya jaminan yang layak, penuh, dan dapat dieksekusi, dan menolak tawaran jaminan dari Para Penggugat karena bentuk dan nilai jaminan yang tidak masuk akal.

Sehingga Pemerintah Indonesia meminta Komite ICSID untuk secara seksama mempelajari bentuk dan nilai jaminan yang ditawarkan tersebut, termasuk dengan mengajukan ahli hukum agraria dari Indonesia sebagai saksi ahli, dan meminta Komite ICSID untuk membatalkan penghentian sementara pelaksanaan putusan Tribunal ICSID.

"Akhirnya, melalui perjuangan panjang, pada tanggal 18 Maret 2019 Komite ICSID menegaskan kemenangan Indonesia melalui sebuah putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap (Decision on Annulment)." (mus) 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya