Ada 20 Jurnalis Korban Aksi 22 Mei, 11 Kejadian Dilakukan Polisi

Suasana di sekitar Bawaslu, Rabu, 22 Mei 2019 malam.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Eduward Ambarita

VIVA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan setidaknya ada sebanyak 20 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput aksi yang berujung kerusuhan pada 21-22 Mei 2019. Hingga kini, AJI masih mengumpulkan data dan verifikasi sehingga tak menutup kemungkinan masih banyak jurnalis lain yang jadi korban.

Polisi Ungkap Dugaan Penyebab Kebakaran Gedung LBH Jakarta

Sebanyak 20 jurnalis yang jadi korban itu merupakan laporan awal pemantauan bersama yang dilakukan AJI bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah lembaga hukum lain.

Ketua Umum AJI, Abdul Manan menjelaskan, dari 20 jurnalis itu sekitar 11 wartawan mengalami kekerasan atau perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh polisi. Baik itu berupa pengusiran, pemukulan hingga perampasan alat.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

"Lalu, ada 7 kasus wartawan yang mengalami kekerasan oleh massa terutama karena diintimidasi ketika di lapangan dan juga motornya jadi korban. Ada dua kasus lagi yang kita belum bisa kita tentukan ini pelakunya polisi atau massa," kata Abdul, di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu 26 Mei 2019.

Dengan demikian, ia menegaskan kedua belah pihak baik polisi dan massa berkontribusi terhadap kekerasan dan tindakan tidak menyenangkan kepada wartawan. Sebagian besar kasus kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian menurutnya karena polisi merespons pengunjuk rasa dan terbawa emosi.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Saat kejadian tersebut, lanjut dia, wartawan yang rata-rata berada di belakang polisi harus terkena imbasnya ketika polisi berusaha membubarkan massa.

"Ini memang menimbulkan pertanyaan soal bagaimana pendidikan polisi kita dalam merespons kekerasan. Kita tahu bahwa aparat keamanan ini kan diberi priviledge untuk melakukan penindasan, diberi alat kekerasan, pentungan dan tameng," katanya.

Dengan demikian, Abdul mengatakan, seharusnya polisi mempunyai kontrol emosi yang lebih baik ketika menghadapi massa maupun dalam merespons wartawan. Tindakan yang dilakukan oleh polisi ke wartawan ini, lanjut dia, sebagian besar karena tidak mau aksi kekerasannya itu direkam oleh wartawan yang sejatinya merupakan pekerjaan wartawan.

"Saya kira ini jadi pertanyaan soal bagaimana polisi itu diajari tentang HAM dan bagaimana psikologi polisi ketika menghadapi massa, terutama wartawan, yang pasti selalu ada di daerah yang bergejolak seperti ini," kata dia.

Terkait pelaku kekerasan terhadap wartawan oleh massa, Abdul mengatakan tindakan ini adalah tindakan yang sangat dikecam oleh pihaknya.

"Karena menurut saya itu adalah pelanggaran hukum. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh massa itu juga kami minta agar diproses, walaupun ini tidak mudah dalam situasi yang sangat kacau seperti ini," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya