Kasus Penyelundupan Senjata Bisa Jadi Gerbang Usut Dalang Kerusuhan

Situasi di Depan Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Sumber :
  • VIVA / Bimo Aria

VIVA –  Profesor Riset bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Hermawan Sulistyo, mendukung upaya aparat mengusut dalang di balik kerusuhan yang terjadi pada 21 dan 22 Mei 2019. Hermawan mengatakan, pengusutan dapat dimulai dari menyelidiki secara lebih dalam kasus penyelundupan senjata M4 dengan tersangka eks Danjen Kopassus Mayjen Purnawirawan Soenarko jelang kerusuhan. 

Enam Pembakar Kantor Polisi di Madura gara-gara Hoax Dihukum Bui

Selain itu, aparat juga bisa mengusut kasus kerusuhan ini berdasarkan penemuan mobil ambulans berlogo Partai Gerindra saat kerusuhan terjadi.

"Polisi harus mencari sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya jejak forensik. Harus bisa dipastikan senjata yang diselundupkan kemarin, yang akhirnya Soenarko ditangkap itu, digunakan untuk itu (kerusuhan) nggak? Kita enggak tahu ya penyelundupan yang kemarin ketahuan itu penyelundupan yang pertama atau sudah beberapa kali menyelundupkan tapi baru kemarin ketahuan," kata Hermawan di Jakarta, Senin, 27 Mei 2019.

Ombudsman: Polri Tolak Temuan Maladministrasi Tangani Aksi 21-22 Mei

Terkait penemuan ambulans Gerindra yang penuh batu, Hermawan menuturkan polisi dapat mengusut dalangnya berangkat dari pertanyaan dari mana, kapan, dan atas instruksi siapa batu-batu itu diangkut.

"Polisi juga harus menyelidiki soal ambulans partai yang membawa batu itu. Batu di bawa dari mana, kapan, siapa yang menyuruh. Pengusutan kasus-kasus ini harus serius," ujar dia.

Ombudsman Temukan Maladministrasi Polri Tangani Aksi 21-22 Mei

Hermawan menjelaskan, pola kerusuhan kemarin mengingatkan dia dengan peristiwa kerusuhan Malari pada 1974, Reformasi pada 1998. Di mana kerusuhan timbul akibat krisis politik atau ketidakpuasan terhadap Pemerintah.

Namun kali ini Hermawan tak setuju jika kerusuhan disebut semata-mata hanya karena luapan emosi rakyat. Senada dengan aparat, dia melihat kentalnya faktor setting dan desain situasi yang menjadi latar belakang kerusuhan beberapa hari lalu.

"Polanya sama yaitu ada pihak-pihak yang secara politis kalah atau ingin bertahan lalu menggunakan cara jalanan. Cara jalanan ini dibuat supaya ada trigger, supaya ada trigger untuk punya dampak politis lebih besar. Pada kasus yang sekarang ini, yang terjadi adalah pengondisian lingkungan politis dari awal seperti tudingan pemilu curang, ini-itulah, segala macam, terutama dengan hoax," ucap dia.

Hermawan kemudian menerangkan istilah people power yang digunakan kelompok politik untuk menggerakan massa kemarin, tak memiliki landasan yang bersifat objektif.

"Harus dipahami oleh masyarakat, people power itu nggak bisa hanya sebagian masyarakat yang merasa kalah dalam pemilu, lalu people power. Itu kondisi objektifnya harus ada. Rezim yang represif tapi ini pemerintah cenderung lemah kok menurut saya, tidak represif. Kedua, ada krisis ekonomi, nah ini nggak ada, orang bisa makan semua kok. Tidak ada yang seperti '98 berbondong-bondong antre sembako dan PHK besar-besaran," kata Hermawan.

Hermawan menilai kerusuhan kemarin diakibatkan kolaborasi antara seruan people power dan pengondisian 'penumpang gelap,' yang dalam istilah akademiknya disebut free riders atau fellow travelers.

"Mereka yang putus asa atau yang punya harapan lain, atau yang punya kepentingan sesaat khususnya uang, memanipulasi simbol-simbol agama dan memanfaatkan situasi lingkungan politik yang tidak kondusif yaitu dengan cara merekrut, istilah akademiknya, free riders atau fellow travelers, orang yang numpang situasi yang genting," ujar Hermawan.

Hermawan lalu mengungkapkan analisanya terkait pengondisian free riders dalam kerusuhan kemarin.  Selain adanya sekelompok massa yang tiba di sekitar gedung Bawaslu RI usai massa demonstran damai membubarkan diri, Hermawan mendapat informasi terkait kelihaian perusuh dari luar Jakarta saat menghindari kejaran aparat.

"Yang menarik bagi saya, orang daerah kalau ke Jakarta pasti gamang. Kita yang di Jakarta saja sering kesasar. Ketika dibubarkan oleh polisi, kok mereka (perusuh asal luar Jakarta) bisa masuk ke gang-gang secara persis. Berarti dia sudah dikasih peta atau dilatih nanti kaburnya ke mana," Hermawan menduga.

Kembali ke soal pengusutan adanya aktor intelektual yang membuat grand design kerusuhan kemarin, Hermawan meminta aparat penegak hukum tidak pandang bulu dalam bertindak.

"Menurut saya tangkap saja (kalau penyidikan membuktikan adanya instruksi kerusuhan dari elite politik). Nggak bisa negara membiarkan. Kalau tidak (ditindak), yang terjadi seperti negara pecahan Uni Soviet, banyak yang dikuasai oleh kelompok-kelompok bermental preman," ujar Hermawan.

"Untuk mencegah ke arah sana, koridor kita hukum, hukum yang dikonstruksikan dari jejak-jejak forensik," ucap Hermawan menambahkan.

Terakhir, Hermawan berpendapat upaya Pemerintah, melalui TNI-Polri, dalam mengantisipasi dan menanggulangi kondisi rusuh kemarin sudah maksimal. Hermawan malah menilai sikap aparat yang tak langsung menindak tegas perusuh menunjukkan TNI-Polri phobia dicap pelanggar HAM. 

"Itu upaya TNI-Polri sudah maksimal. Saya dan para akademisi menganalisis aparat kita terlalu baik, aparat kita cenderung takut kena HAM. Mustinya dibubarin saja saat massa sudah melewati batas waktu yang sudah ditoleransi pihak keamanan. Jika menolak perintah aparat, artinya mereka (demonstran) jelas melanggar hukum. Apalagi membahayakan keselamatan warga lainnya dan aparat," ujar Hermawan.

"Dilempari petasan, dilempari batu besar, dilempari molotov, ini pola-pola '98. Tapi untungnya kemampuan intelijen sudah lebih canggih, jauh lebih canggih dari saat 98. Kalau tidak, kerusuhan akan lebih besar," kata Hermawan mengakhiri.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya