Kasus Baiq Nuril, Perempuan Mahardika Minta DPR Sahkan RUU PKS

Baiq Nuril dan kuasa hukumnya, Joko Jumadi.
Sumber :
  • VIVA/ Lilis Khalisotussurur.

VIVA – Peneliti organisasi Perempuan Mahardika Vivi Widyawati menyatakan, ditolaknya upaya hukum Peninjauan Kembali atau PK yang diajukan Baiq Nuril oleh Mahkamah Agung (MA), merupakan bukti bahwa perempuan sangat rentan dengan kasus pelecehan seksual. 

PT BMI Ajukan PK Kasus Sengketa Lahan ke MA, Minta Eksekusi Ditunda

Menurut Vivi, dalam kasus mantan guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat ini, pemerintahan Joko Widodo bukan hanya harus turun tangan dalam memberikan amnesti terhadap terpidana Baiq Nuril. 

Namun harus memastikan agar DPR RI juga segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi undang-undang, yang dapat menjamin kaum perempuan dari tindak kejahatan seksual di lingkungan kerja.

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang! Harga Limitnya Rp809 Juta

"Banyak hukum yang bisa kriminalisasi korban dan ini terjadi kepada Baiq Nuril yang berani melaporkan pelecehana seksual yang diterimanya," ujarnya di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu, 6 Juli 2019. 

Lebih jauh, dia menjelaskan, sejauh ini belum ada undang-undang khusus yang secara verbal dapat menjerat seseorang. Karena selama ini yang menyangkut kasus pelecehan seksual masih dilakukan proses pemeriksaan secara fisik.

Ketua Komisi II DPR Bantah Ada Arahan Jokowi Soal Penghapusan Pilkada

"Tapi sekarang kami dorong untuk bisa dari sisi verbal. Kami dorong amnesti ini agar BN (Baiq Nuril) bisa bebas, apalagi sekarang pakai UU ITE, membuat korban justru bisa dikriminalisasi," ujarnya.

Dalam RUU PKS yang saat ini masih digodok di parlemen, lanjut Vivi, telah mengakui sembilan bentuk kekerasan seksual. Salah satunya adalah kekerasan seksual baik yang dilakukan secara fisik maupun non-fisik. 

"Selain itu RUU ini pun mengakui keterangan korban, informasi elektronik sebagai alat bukti lain yang memberi peluang bagi korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian," katanya.

Sebelumnya, pada 26 September 2018, Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan Baiq Nuril terbukti melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE Jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE. Sebab, telah mentransfer atau mentransmisikan rekaman percakapan yang mengarah pada upaya pelecehan seksual yang dialami dirinya dengan  Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Mataram yang bernama Muslim melalui selulernya. 

Putusan MA itu memvonis Baiq Nuril dengan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Menyikapi putusan MA yang memenangkan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu, Baiq Nuril melalui kuasa hukumnya terus berjuang melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan MA tersebut. 

Namun pada hari Jumat, 5 Juli 2019 lalu Mahkamah Agung justru menolak upaya PK yang diajukan oleh Baiq Nuril tersebut, dan menguatkan putusan kasasi sebelumnya.

Baiq Nuril kembali terancam dieksekusi penjara sesuai dengan putusan kasasi sebelumnya, yaitu vonis enam bulan kurungan penjara dan membayar denda Rp500 juta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya