- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Vonis bebas Mahkamah Agung (MA) atas perkara Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membelit mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, jadi polemik. Ada yang pro, tetapi tak sedikit yang kontra.
Ketua Umum Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Rahmat Santoso menilai, putusan MA tersebut jadi polemik karena yang menyidik perkara Syafruddin ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, andai saja bukan KPK yang menyidik, tidak akan muncul banyak pihak yang mempertanyakan putusan itu.
"Dulu juga terjadi pada putusan praperadilan yang mengabulkan perihal tidak sahnya penetapan tersangka terhadap kasus Budi Gunawan oleh KPK, yang dinilai menerobos pakem praktik praperadilan selama ini," kata Rahmat di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu, 14 Juli 2019.
Dia berpendapat, proses penegakan hukum di Indonesia seharusnya lepas dari pandangan primordialisme bahwa siapa saja yang dijerat perkara oleh institusi tertentu harus bersalah. "Apalagi yang sudah menjadi berita besar di media harus dinyatakan bersalah karena mengandung unsur-unsur extra ordinary crime," ujar Rahmat.
Padahal, perlu pula disoroti apakah proses hukum yang berjalan sudah benar atau tidak.
"Tidak ada seorang pun yang menanyakan dan mencoba meneliti, apakah benar dan adil seorang Syafruddin Temenggung yang telah melaksanakan tugasnya sesuai peraturan yang berlaku selaku Ketua BPPN untuk dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung," ujar Rahmat.
Menurutnya, proses hukum harus berujung pada terwujudnya keadilan, baik perkara yang diusut oleh Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK. Apabila perkara sudah diputus pengadilan dan inkracht, benar atau salah adalah tanggung jawab majelis hakim.
"Perlu diingat, semua orang berhak memperoleh keadilan. Tidak semua yang berlabel tersangka dan terdakwa mesti bersalah," ujarnya.
Syafruddin divonis bebas oleh MA dalam amar putusan bernomor 1555K/PID.SUS/TPK/2019. Dia terbukti bersalah namun perbuatannya bukan kategori tindak pidana. Putusan tersebut membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Syafruddin dengan pidana penjara selama 15 tahun. (ase)