Antropolog King Fahd University Sebut Politik Identitas RI Overdosis

Sumanto Al Qurtuby dalam forum talkshow tentang radikalisme di Surabaya, Jawa Timur, pada Senin malam, 15 Juli 2019.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Kabar overstay Rizieq Shihab di Arab Saudi jadi sorotan. Obrolan tentang Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu ramai, baik di dunia maya maupun nyata. Termasuk di acara Talkshow "Radikalisme dalam Kehidupan Bangsa dan Negara Indonesia" oleh Gema Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, Senin malam, 15 Juli 2019.

Ribuan Konten Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Disikat Habis

Hadir sebagai pembicara, di antaranya, Sumanto Al Qurtuby, antropolog asal Indonesia di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan aktivis media sosial, Yusuf Muhammad. Dia juga populer di dunia maya sebagai aktivis media sosial. Talkshow dimoderatori oleh penulis dan pegiat medsos, Eko Kuntadhi.

Rizieq disebut-sebut saat moderator membuka diskusi saat mengenalkan Sumanto Al Qurtuby kepada hadirin. "Untungnya Profesor Sumanto ini profesor, beliau dihargai sebagai ilmuwan. Makanya pemerintah Saudi appreciate, lha wong profesor, tidak perlu mikir overstay," candanya disambut senyum hadirin.

Mantan Napiter Dukung Upaya BNPT Lindungi Perempuan dari Radikalisme

Sumanto menimpali candaan itu di awal-awal membuka materi. "Saya sudah sekitar satu bulan di Indonesia, kebetulan saya tidak ngajak Habib Rizieq pulang. Saya enggak sempat pamitan, 'kami pulang dulu, ya, Bib. Jadi, saya pulang keliling di sini, dari Sumatera Utara, Palangkaraya, Bali, Malang, ke mana-mana, sekarang jadwalnya di Surabaya," katanya. 

Sebelum acara, Sumanto ogah berkomentar ketika ditanya soal heboh overstay Rizieq Shihab di Arab Saudi. Dia mengaku tahu soal itu namun tidak berwenang untuk memberikan keterangan atau pun berpendapat. "Saya tidak berwenang untuk menyampaikan soal Habib Rizieq," ujarnya.

Pemilu 2024 Lebih Teduh Dibanding 2019

Di forum diskusi, Sumanto menyampaikan tentang segala hal soal radikalisme, dari sejarah hingga kondisi kekinian. Dia berpendapat, radikalisme bukanlah soal agama. Karena itu, titik tekan yang perlu diperhatikan bukanlah soal keagamaan seseorang atau kelompok. "Tetapi radikalisme dalam arti kekerasan dan ini harus jadi peringatan bagi bangsa Indonesia."

Radikalisme dalam pemahaman seperti itu di Indonesia, menurut Sumanto, menguat. Tanda-tandanya begitu nyata, termasuk kala gelaran pemilihan presiden 2019. Menurutnya, politik identitas yang menyertai pilpres adalah hal lumrah dalam politik. Di negara mana pun semangat keagamaan acap menjadi pendorong suatu gerakan politik.

Namun, hal yang perlu diwaspadai ialah sejauh mana gerakan itu menjadi sebuah tindakan kelompok yang mengarah pada terjadinya kekerasan. Nah, menurut Sumanto, tanda-tanda akan timbulnya kekerasan di Indonesia ada. "[politik identitasnya] overdosis," kata profesor asal Batang, Jawa Tengah, itu. 

Ketua Panitia Talkshow, Rachmat Budi Sujanto, mengatakan bahwa forum diskusi itu digelar dalam rangka merawat toleransi di Indonesia. Karena itu, peserta yang diundang lintas generas dan lintas agama. "Kenapa? Karena merawat itu lebih sulit dari pada membangun. Kita perlu bersama-sama merawat toleransi di Indonesia yang sudah terjaga sejak dulu," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya