KPK Tetapkan Ketua Unit Layanan Bakamla Tersangka Korupsi

Petugas membersihkan logo Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Unit Layanan Pengadaan Badan Keamanan Laut RI, Leni Marlena sebagai tersangka korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (Backbone Coastall surveillance system/BCSS) Bakamla RI tahun anggaran 2016.

Bakamla Usir Kapal Tanker Yunani di Laut Banda, Ini Kronologinya

Selain itu, lembaga antirasuah ini juga menjerat Anggota Unit Layanan Pengadaan Bakamla RI, Juli Amar Ma'ruf,  Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT), Rahardjo Pratjihno dan PPK Bakamla RI, Bambang Udoyo sebagai tersangka kasus yang sama.

Bambang Udoyo sebelumnya telah divonis majelis hakim Pengadilan Tinggi Militer Jakarta karena terbukti bersalah dalam kasus suap dalam Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla.

Bakamla Evakuasi Longboat Terombang-ambing di Perairan Tual Maluku

Pada kasus proyek perangkat transportasi, Bambang, Leni, Jamal, dan Rahardjo diduga menguntungkan diri sendiri dan atau pihak lain dan mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp54 Miliar.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, bahwa kasus ini merupakan pengembangan perkara kasus suap Pengadaan Satelit Monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Tahun Anggaran 2016. Pengembangan ini juga sebelumnya membawa PT Merial Esa sebagai tersangka korporasi.

Perkuat Keamanan Laut, Bakamla Segera Punya Markas di Natuna

Alex mengatakan, kasus BCSS ini bermula tanggal 15 April 2016, Bambang Udoyo sebagai Direktur Data Informasi diangkat menjadi Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Peningkatan Pengelolaan Informasi, Hukum, dan Kerjasama Keamanan dan Keselamatan Laut.

Selang beberapa bulan, atau tepatnya pada 16 Juni 2016 Leni dan Jamal diangkat sebagai Ketua dan Anggota Unit Layanan Pengadaan di Lingkungan Bakamla Tahun 2016.

"Pada Tahun Anggaran 2016 terdapat usulan anggaran untuk pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BESS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) sebesar Rp 400 miliar yang bersumber APBN-P 2016 di Bakamla RI," kata Alex di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 31 Juli 2019.

Menurut Alex, awalnya anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS belum bisa digunakan. Tapi ULP Bakamla RI justru tetap memulai proses lelang tanpa menunggu persetujuan anggaran dari Kemenkeu.

Alex melanjutkan, pada 16 Agustus 2016, ULP Bakamla mengumumkan lelang proyek BCSS yang terintegrasi dengan BIIS dengan pagu anggaran Rp400 miliar dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp399,8 miliar.

Namun, sebulan kemudian, PT CMIT ditetapkan sebagai pemenang dalam pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS.

Selanjutnya, kata Alex, Oktober 2016 terjadi pemotongan anggaran oleh pihak Kemenkeu. Meskipun anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.

Mereka malah melakukan negosiasi dalam bentuk Design Review Meeting (DRM) antara Pihak Bakamla dan PT CMIT terkait dengan pemotongan anggaran untuk pengadaan tersebut.

"Negosiasi yang dilakukan adalah negosiasi biaya untuk menyesuaikan antara nilai pengadaan dengan nilai anggaran yang disetujui atau ditetapkan oleh Kementerian Keuangan serta negosiasi waktu pelaksanaan," kata Alex.

Negosiasi itu menghasilkan harga pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS menjadi sebesar Rp170,57 miliar. Waktu pelaksanaannya pun dipotong lagi dari dari 80 hari kalender menjadi 75 hari kalender.

"Pada tanggal 18 Oktober 2016, kontrak pengadaan ditandatangani BU (Bambang Udoyo) selaku Pejabat Pembuat Komitmen dan Rahardjo selaku Direktur Utama PT CMIT dengan nilai kontrak Rp170,57 Miliar termasuk PPN," ujarnya.

Atas perbuatannya Leni Marlena dan Juli Amar Ma'ruf disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Adapun Bambang dalam kasus ini ditangani Polisi Militer Angkat Laut dikarenakan pada saat menjabat selaku PPK yang bersangkutan adalah anggota TNI AL.

Sementara itu, Rahardjo Pratjihno disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [mus]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya