Firli Bahuri Diminta untuk Buat KPK Digdaya Kembali

Ketua KPK Firli Bahuri.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Fajar Sodiq

VIVA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, Firli Bahuri, diminta untuk membuat lembaga antirasuah itu berjaya kembali. Hal ini mengacu pada Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Eks Ajudan SYL Ungkap Firli Minta Uang Rp50 Miliar, Apa Kabar Berkas Kasus Pemerasan di Polri?

"Artinya, UU KPK telah mengalami dua kali revisi setelah berjalan selama 17 tahun. Karena itu, revisi UU KPK kali ini harus dijadikan momentum bagi Firli dan kawan-kawan untuk membuat KPK tampil lebih digdaya dan taat azas," kata mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Petrus Selestinus di Jakarta, Kamis, 12 Desember 2019.

Menurut dia, keinginan agar KPK tampil lebih didgdaya dan taat azas dimaksudkan agar KPK di bawah Firli mampu mengefektifkan dan mengefisienkan tugas pemberantasan korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan Agung, yang selama 17 tahun usia KPK gagal terwujud.

Eks Ajudan SYL Ungkap Firli Bahuri Pernah Minta Uang Rp50 Miliar

Padahal UU KPK memberikan lima tugas dan kewenangan besar, yaitu koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, pencegahan tindak pidana korupsi dan Monitor. Namun hal itu gagal diimplementasikan.

Ia mengemukakan, dari lima tugas besar ini, yang menonjol dilaksanakan adalah hanya bidang penindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Sedangkan empat bidang tugas lainnya nyaris tak terdengar.

Cerita Ajudan soal Pertemuan Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri di Villa Galaxy Bekasi

Tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu-pun gagal dilaksanakan, karena banyak kasus besar mangkrak alias tidak tuntas diselesaikan oleh KPK seperti kasus BLBI, Bank Century, e-KTP dan lainnya.

"Belum lagi kasus-kasus besar yang mangkrak di Kepolisian dan Kejaksaan Agung yang juga menjadi wewenang KPK untuk mengambilalih tetapi kenyataannya tidak pernah dilakukan," katanya Petrus.

Dengan demikian, Petrus yang merupakan Advokat menuturkan, kegagalan pencegahan dan pemberantasan korupsi selama 15 tahun perjalanan KPK tidak semata-mata karena ada titik lemah pada UU KPK, tetapi juga pada persoalan kapasitas pimpinan KPK, yang mudah diintervensi.

Sehingga, pimpinan KPK akhirnya melakukan praktek tebang pilih, dan memilih jalan pintas melakukan penindakan dengan cara Operasi Tangkap Tangan atau OTT, karena OTT tidak mudah diintervensi dan mendapat publikasi luas, tetapi OTT juga bisa diorder untuk target-target terntu.

"KPK gagal melaksanakan tugasnya, karena tidak semua tugas, wewenang dan kekuasaan besar (superbody), yang diberikan oleh UU, diimplementasikan," katanya.

Contoh, lanjut dia, kewenangan atau koordinasi dan supervisi yang memungkinkan KPK mengambilalih penyidikan atau penuntutan dari Polri atau Kejaksaan, namun KPK tidak pernah lakukan itu, juga KPK tidak pernah menghasilkan konsep tentang sistim pemberantasan korupsi yang lebih baik, sesuai tugasnya dibidang monitor (pasal 9 UU KPK).

Padahal, berdasarkan ketentuan pasal 14 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, tugas monitor, yaitu melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan adminisrasi di semua lembaga negara dan pemerintahan dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem jika sistem yang ada berpotensi korupsi, namun fungsi inipun tak terdengar.

"KPK justru terjebak dalam tindakan--tindakan konvensional yang sama yang selama ini terjadi atau dikhawatirkan terjadi pada Polri dan Kejaksaan, sehingga KPK kehilangan superbody-nya menjadi loyo dan gagal mengeksekusi kekuasaan yang digdaya itu," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya