Logo BBC

Cerita Nelayan Melaut di Natuna Setelah Kapal Perang Wira-wiri di Sana

Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, 3 Januari lalu. - Antara/M RISYAL HIDAYAT
Prajurit TNI AL di atas KRI Tjiptadi-381 saat mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, 3 Januari lalu. - Antara/M RISYAL HIDAYAT
Sumber :
  • bbc

"Saya ingin menekankan satu prinsip, terkait kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan Indonesia, bahwa klaim apapun oleh pihak manapun harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Indonesia akan terus menolak klaim yang tidak sesuai dan tidak diakui oleh hukum internasional," kata Retno.

`Paradigma wilayah yang berbeda`

Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menjelaskan bahwa kejadian di perairan Natuna yang melibatkan kapal asal China bulan lalu memang tidak terkait perdebatan masalah wilayah, atau yang juga diketahui sebagai hak daulat. Melainkan, kata Hikmahanto, yang disebut dengan hak berdaulat, yaitu hak memanfaatkan segala potensi sumber daya alam.

Ia jelaskan bahwa terkait wilayah, Indonesia dan China, memang ada perbedaan pada dasar klaim wilayah.

Hikmahanto mengatakan bahwa dalam posisi ini, klaim ZEE Indonesia adalah berdasarkan hukum internasional dan UNCLOS, dimana China sesungguhnya adalah bagian dari konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk pada tahun 1982 tentang hukum laut itu.

Walaupun demikian, China mengganggap sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia beririsan dengan wilayah historis mereka dengan merujuk pada klaim berdasakan sembilan garis putus-putus. Klaim ini tidak diakui Indonesia dengan alasan bersifat unilateral dan tidak memiliki dasar hukum.

Dengan demikian, kata Hikmahanto, perdebatan ini berpotensi terus berlangsung selama tiap pihak memegang pada klaim masing-masing.