Dianggap Hina Din Syamsuddin, Ade Armando Trending

Ade Armando.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah (Jateng) akan melakukan somasi terhadap dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, terkait unggahan di Facebook-nya yang diduga memfitnah Muhammadiyah dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin

Ramadhan, Sekum Muhammadiyah: Hubungan Sesama Selama Pemilu 2024 Sempat Rusak, Harus Diperbaiki

“Betul pak, surat kami keluarkan dari PWPM Jateng,” kata Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah, Andika Budi Riswanto, saat dikonfirmasi, Senin 1 Juni 2020.

Andika menjelaskan, surat somasi ini belum disampaikan langsung kepada Ade Armando maupun pihak kepolisian.  “Untuk surat kami sampaikan terbuka, termasuk lewat media sosial. Sementara karena Ade Armando melakukannya melalui medsos, kami juga melakukan hal yang sama karena kami mencoba mengklarifikasi melalui komentar postingan beliau juga kesulitan, karena malah menjadikan perdebatan. Namun beliau sudah membaca somasi dari kami,” ujarnya.

Tolak Usul Muhammadiyah, MUI Jelaskan Pentingnya Sidang Isbat

Dalam surat somasinya, Andika menyebutkan, ungguhan Ade Armado di akun Facebook-nya mengandung unsur fitnah dan pencemaran nama baik. “Postingan tersebut mengandung unsur fitnah dan pencemaran nama baik yang sangat menyakitkan bagi warga Muhammadiyah," ujarnya.

Dalam surat tersebut, ada dua dugaan fitnah yang disampaikan Ade Armando dalam Facebooknya. Pertama, fitnah tuduhan Muhammadiyah telah menggulirkan isu pemakzulan Presiden. Kedua penghinaan dan pencemaran nama baik kepada Din Syamsudin dengan menyebutkan si dungu.

Makian Gara-gara Perbedaan Hilal Berujung Bui, Sesal Kemudian

Din diposisikan sebagai tokoh nasional yang merupakan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat tahun 2015-2020.

Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah berpendapat apa yang dilakukan oleh Ade Armando sebagai sebuah kesengajaan. Oleh karena itu, telah masuk dalam unsur pidana melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Atas dasar itu Pemuda Muhammadiyah Jateng dan Kokam PWPM Jawa Tengah mengutuk dan menuntut Ade Armado untuk mencabut unggahannya  di Facebook. Selain itu Ade Armado harus meminta maaf melalui 5 media tv nasional, 5 media cetak nasional dan 5 media daring nasional.

“Bahwa jika dalam tempo paling lama tujuh hari setelah somasi ini diterbitkan, tidak ada itikad baik dari pemilik dan admin akun Facebook Ade Armando untuk melaksanakan isi somasi ini, maka kami akan melakukan upaya-upaya hukum, pelaporan tindak pidana dan melakukan tindakan hukum lain yang dianggap perlu,” ujarnya.

Ade Armando Trending di Twitter

Hingga pagi ini, Selasa 2 Juni 2020, nama Ade trending di twitter, ada sekira 6.556 Tweet? tentangnya. bermacam komentar bermunculan tentangnya. Ada netizen yang menyebut Ade baper soal omongan Din.

“Prof Din Syamsudin, Cuma menjelaskan, tiga syarat pemimpin bisa dimakzulkan. 1. Pemimpin tidak adil/zhalim 2. Dungu, ketiadaan ilmu pengetahuan. 3. tidak berwibawa dan tidak lg dipercaya rakyat. Ade Armando Baper, mungkin majikannya memenuhi kriteria trsbt,” tulis akun @_Banyoe.

Sebelumnya, Din yang merupakan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, menjelaskan makna dari sebuah kebebasan berpendapat. Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini mengupas dari perspektif Islam dan pemikiran politik Islam.

Din mengatakan, ihwal kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan. Ia menegaskan kebebasan merupakan hak manusiawi dan hak makhluk. Bahkan Tuhan mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak.

"Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman atau tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan," kata Din dalam diskusi bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, yang digelar secara virtual, Senin, 1 Juni 2020..

Oleh karena itu, menurut Din, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Ia menyebut manusia punya kebebasan berkehendak dan berbuat.

"Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang sakral dan transendental. Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas," kata Din.

Lebih lanjut Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya dapat diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase kehidupannya.

Fase pertama yakni eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan. Fase kedua, yakni fase sosial atau komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Din menyebut kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.

"Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan. Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang atau rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan itu," kata Din.

Berangkat dari hal itu, Din menambahkan, para pemikir politik Islam kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal, yakni kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan memilih dan dipilih.

Oleh karena itu, tekan Din, ihwal kebebasan berpendapat ini mempunyai landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam. "Oleh karena itu apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights sangat memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri," papar Din.

Begitu pula dengan UUD 1945. Menurut Din, tokoh-tokoh yang merumuskannya sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan yang ada dalam Islam dan dalam sejarah pemikiran Islam. “Karena itu, kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti kebebasan berpendapat," ungkap Din.

Din menegaskan, kebebasan berpendapat selagi dilandasi norma-norma, etika dan nilai yang disepakati, maka itu adalah hak rakyat warga negara. Negara melalui pemimpin tak boleh mengganggu gugat.

Din bahkan mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif dan cenderung diktator. Din kemudian mengutip tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi, mengenai syarat-syarat yang harus terpenuhi terkait pemakzulan itu.

"Pemakzulan dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan," ujarnya.

Syarat pertama yakni ketidakadilan. Din mengungkapkan, jika seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.

"Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul," kata dia.

Syarat berikutnya adalah tidak memiliki ilmu pengetahuan. Menurut Din ketiadaan ilmu ini merujuk kerendahan visi, terutama tentang cita-cita hidup bangsa.

Menurut Dosen Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatullah itu, dalam konteks negara modern, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika tidak diwujudkan oleh pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul.

Syarat berikutnya, imbuh Din, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi saat seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi seperti suatu negara kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.

"Apabil pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul," ujarnya.

Din juga menyebut pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan yang represif dan cenderung diktator. Ia melihat, pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut. Menurutnya, pemerintah sekarang ini tengah membangun kediktatoran konstitusional. Hal tersebut terlihat dari berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah.

"Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi seperti godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain," papar Din.

Merujuk pada pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta masyarakat tidak segan melawan kepemimpinan yang zalim, apalagi jika melanggar konstitusi. "Rasyid Ridho (pemikir Islam) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi," kata dia.

Baca juga: Pemakzulan Presiden, Fadli Zon: Yang Ketakukan Pasti Anti Demokrasi

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya