Tes Corona Mahal, Ombudsman Curiga Ada yang Cari Keuntungan

Rapid test Virus Corona.
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Anggota Ombudsman RI, Laode Ida mengatakan pihaknya melakukan investigasi terkait harga alat rapid test yakni Rp75.000. Karena itu, dia mengaku kaget ketika ada kewajiban masyarakat yang mau bepergian dikenai biaya antara Rp300 ribu sampai Rp1 juta.

BRI Cetak Laba Rp 15,98 Triliun di Kuartal I-2024, Penyaluran Kredit Tembus Rp 1.308 Triliun

Pada saat yang sama, kata dia, pemerintah telah menganggarkan dana cukup besar sekitar Rp677 triliun. Menurut dia, memang Ombudsman belum melakukan investigasi terhadap penggunaan uang tersebut, ke mana saja dan siapa saja yang menggunakan.

"Apakah juga tidak termasuk biaya-biaya yang harus dilakukan dikeluarkan rapid tes, itu belum diinvestigasi oleh Ombudsman. Tapi yang mengagetkan itu rapid test bayar sekitar Rp300 ribu. Harusnya, menyiapkan rapid test secara gratis karena sudah dianggarkan pemerintah," katanya seperti dikutip dari tvOne pada Selasa, 30 Juni 2020.

Pentingnya Kesehatan di Masa Golden Age Anak, Bakal Tentukan Kondisi Masa Depan

Oleh karena itu, Laode mengatakan harusnya masyarakat yang punya kepentingan untuk bepergian dengan melakukan rapid test itu tidak boleh dikenai biaya ekstra. Karena, kata dia, ini suatu bisnis yang tidak berperikemanusiaan dengan memanfaatkan kesempatan ketakutan orang untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.

"Bagaimana tidak? Ini harganya Rp70.000 bisa dicharge Rp1 jutaan. Harusnya, yang mewajibkan rapid test itu menyiapkan alat rapid tes tidak boleh berbayar, gratis atau cukup mengganti biaya produksi alat rapid test itu sebesar Rp75.000," jelas dia.

Industri Laboratorium Makin Kinclong, Lab Indonesia 2024 Soroti Hal Ini

Jadi, Laode menyarankan sebaiknya hentikan memperoleh keuntungan dari rakyat melalui kewajiban rapid test tersebut. Sebab, ini menyedot uang rakyat melalui pemaksaan kewajiban dalam situasi yang sangat menakutkan wabah corona.

"Sebetulnya kami tidak menduga seperti itu dan baru marak akhir-akhir ini, jadi mulai saat ini bertanya, kenapa ini dan kita mulai angkat. Ini sudah meresahkan masyarakat. Semua fenomena ini jadi bisnis sendiri, surat keterangan hasilnya oh negatif, tidak reaktif, itu bisnis sebetulnya. Pebisnis medis tertentu, khususnya alat-alat COVID itu," ujarnya.

Eks Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil

IPK 2,77 dan Lulusan ITB, Ridwan Kamil: Saya Pasti Enggak Bisa Kerja di KAI, tapi Buktinya...

Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menjawab pertanyaan soal pengaruh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terhadap profesi dalam kolom komentar di media sosialnya.

img_title
VIVA.co.id
25 April 2024