Kisah Perjuangan Napi Pembunuh Suami Istri Pendeta

Fadly Torindatu
Sumber :
  • VIVAnews/Agustinus Hari

VIVA – Ruangan bercat biru muda di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Manado, Sulawesi Utara, itu masih kosong melompong meski matahari sudah nyaris di atas kepala. Di dalam ruangan berukuran sekitar 24 meter persegi itu hanya tampak sebuah meja panjang tanpa taplak, ditemani tiga kursi plastik berwarna hijau dan sebuah kipas angin yang tak terurus dan dipenuhi debu.

Ada Sesajen di Rumah Kakek yang Tewas dengan Kondisi Kepala Hancur

Itu adalah ruangan tunggu yang biasa digunakan para narapidana bertemu dengan kerabat dan keluarganya. Fadly Torindatu, salah satu dari sekian ratus narapidana yang sering menggunakan ruangan itu. Namun, sudah beberapa tahun terakhir, dia jarang ke ruangan itu karena keluarganya sudah jarang menjenguknya. Termasuk sang ibu, Nano Hasan, yang kini menyepi di Minahasa Utara. Padahal, dia sangat rindu bertemu dengan keluarganya, khususnya kedua anaknya.

“Saya rindu menyekolahkan anak-anak saya (mengantar kedua anaknya ke sekolah atau membiayai sekolah kedua anaknya?) jika bebas nanti,” ujar Fadly, saat bertemu VIVAnews, akhir Mei 2019.

Suami di Minahasa Selatan Bunuh Istri yang Mengigau Pria Lain Saat Tidur

Fadly merupakan napi kasus pembunuhan terhadap pendeta Frans Koagouw (64) dan sang istri, Femmy Kumendong (72), hampir satu dekade lalu. Keduanya sehari-hari merupakan pemuka Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Petra Malalayang, Manado.

Fadly dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Menado. Majelis hakim yang diketuai Aris Bokko menjatuhi pidana hukuman mati bagi Fadly.

Alasan Pria Bunuh Waria di Sukabumi, Tolak Hubungan Sesama Jenis

Tapi, perjalanan waktu dan kesabarannya berbuah. Rabu, 18 Juni 2019 lalu, dia mendapat kiriman sebuah amplop cokelat dan sepucuk surat dengan sebuah lambang burung garuda, mirip dengan Garuda Pancasila-lambang negara Indonesia, tertera di atasnya. Di dalam surat tersebut, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, Fadly memperoleh pengampunan.

Fadly menangis membaca surat tersebut. Tak percaya. Namun, tepukan, pelukan, bahkan ciuman serta ucapan selamat dari rekan-rekan penghuni lapas, membuatnya tersadar. Dia berada pada puncak rasa bahagia sebagai seorang manusia. Menghidup udara bebas, sebagai seorang yang bebas, adalah obsesinya.

Setahun lalu, Fadly, yang menera sejumlah tato pada beberapa bagian tubuhnya, memang sudah mendapat pengurangan hukuman. MA tampaknya menganulir putusan pidana mati menjadi seumur hidup. Tapi, tetap saja kondisi itu membuatnya tertekan. 

“Saya sempat stres waktu divonis seumur hidup. Tapi teman-teman selalu memberi motivasi,” ujarnya.

Namun belakangan, Agustus 2018, MA mengurangi lagi hukumannya dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Fadly sudah menjalani masa hukumannya selama 10 tahun. Artinya, 10 tahun lagi dia akan bebas. Dan, 10 tahun bagi Fadly tidak teralu lama lagi.

Kepala Lapas Manado Sulistyo Wibowo mengatakan cukup banyak perubahan dalam diri seorang Fadly. Laki-laki berperawakan mungil, sekitar 155 cm itu, seringkali memotivasi napi lain untuk berpikir ulang tentang hidupnya dan kembali ke jalan yang benar. “Manusia boleh berbuat salah, termasuk membunuh siapa pun, tapi Tuhan juga Maha Pengampun,” kata Sulistyo, mengutip petuah Fadly ke sesama rekan penghuni Lapas.

Lapas Manado

Selanjutnya, Tak Sendirian dan Kejanggalan-kejanggalan

Tak Sendirian dan Kejanggalan-kejanggalan

Pengurangan masa hukuman dan pengampunan adalah buah dari upaya Fadly dan pengacaranya selama enam tahun terakhir. Selama enam tahun, Fadly melalui pengacaranya, Stevie Da Costa, berkirim surat kepada pemerintah pusat dan presiden untuk meminta pengampunan serta pengurangan hukuman.

Ditemui Senin, 10 Juni 2019, Stevie menjelaskan, banyak kejanggalan-kejanggalan dalam proses hukum Fadly yang membuatnya yakin kliennya tak boleh menanggung beban sendiri atas kasus pembunuhan tersebut.

Putusan majelis hakim PN Menado, yang terdiri dari Aris Bokko, Saur Sitindaon dan I Gede Ketut Wanugraha, tercantum dalam putusan 16/PID.B/2010/PN.MDO, menyatakan Fadly secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Frans Koagouw dan Femmy Kumendong.

Menurut Stevie, kata “turut serta” yang menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati secara eksplisit mengindikasikan bahwa Fadly tidak bertindak sendirian melainkan bersama-sama. “Hanya Fadly yang sendirian yang dihukum. Lainnya tidak,” kata dia.

Fadly dalam persidangan menyatakan dirinya membunuh Pendeta Frans Koagouw dan Pdt Femmy Kumandong, yang telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri, karena silap mata. Terdesak menyiapkan ongkos kelahiran anak keduanya, iming-iming sepeda motor baru dan uang oleh Rocky membuatnya nekat melakukan hal itu. Saat melaksanakan pembunuhan, Fadly tidak sendirian. Dia bersama Putra Paseki dan Partisen Lerah.

Rocky tidak lain adalah menantu Frans Koagouw dan Femmy Kumendong. Pria bernama lengkap Batara Rocky Romoko ini tinggal satu atap dengan Frans dan Femmy setelah menikah dengan putri tertua pasangan tersebut, Debora Rode Koagouw. Sementara dua orang lainnya, Putra dan Partisen, adalah pekerja di peternakan kuda dan sapi miliki Frans dan Femmy.

Fadly sendiri, yang sudah menganggap Frans dan Femmy sebagai orang tua sendiri karena sejak usia 8 tahun bekerja di gereja tersebut, dikenal sebagai tukang potong hewan.

Hingga 10 tahun setelah kejadian tersebut, Fadly mengaku kalau sampai sekarang dirinya tidak paham motif Rocky memintanya menghabisi nyawa kedua mertuanya itu. “Saya berharap mereka juga yang ikut terlibat berada di ruangan (ruangan pengadilan) seperti saya ini (diadili). Tapi saya tak punya kemampuan apa-apa. Saya hanya bisa berdoa dan berdoa,” ujar Fadly.

Rocky sendiri, yang merupakan tokoh organisasi adat Brigade Manguni Indonesia (BMI) di Sulawesi Utara, membantah keterlibatannya. Dalam berbagai kesempatan, tokoh BMI–organisasi yang sering bekerja sama dengan kepolisian dalam agenda pengamananan di Sulawesi Utara, selalu menyatakan ketidaktahuannya atas peristiwa pembunuhan itu. Bantahan senada juga dikatakan oleh Putra dan Partisen.

“Tak benar itu semua. Saya tidak di lokasi kejadian saat itu,” ujar Rocky dihubungi via telpon, Sabtu, 13 Juli 2019.

Tidak hanya proses persidangan yang dipenuhi dengan kejanggalan. Proses penyidikan serta penyelidikan yang dilakukan polisi pun membuat dahi Stevie berkerut. Menurutnya, banyak tindakan polisi yang menyalahi aturan. Mulai dari lokasi pemeriksaan yang tidak sesuai dengan prosedur standar operasional, pengakuan di bawah todongan pistol, hingga dugaan penyuapan.

Evie Woy, kerabat Fadly, memperkuat pernyataan Stevie. Dia pernah melihat polisi mengikat kedua tangan Fadly dan menutup matanya sebelum memasukkan kepala Fadly ke dalam air untuk memperoleh pengakuannya saat rekonstruksi berlangsung.

AKP Frely Sumampouw, salah satu polisi yang menjadi penyidik kasus tersebut enggan berkomentar banyak. “Ah itu kasus lama. Cek saja ke pengacara Fadly. Saya tak mau bicara,” kata perwira polisi yang kini bertugas di Polres Bitung, Jumat, 19 Juli 2019. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya