Mantan Pimpinan KPK Sebut Bukti atas Sofyan Basir Lemah

Sofyan Basir bebas
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Guru Besar Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji menilai putusan bebas  (vrijspraak) terhadap mantan Dirut PLN Sofyan Basir merupakan suatu kewajaran dalam sistem peradilan pidana dengan model Due Process of Law atau proses hukum yang benar dan adil.

Soal PK Mardani Maming, KPK Yakin MA Bekerja Profesional Tanpa Ada Intervensi

Untuk itu, kata Indriyanto, pihak manapun termasuk KPK harus menghormati dan menghargai setiap badan peradilan sebagai representasi kekuasaan yudikatif yang bebas dan independen.

"Jadi tidak perlu mempersalahkan siapapun entitas dalam kasus ini. Siapapun harus menghormati dan menghargai keputusan badan peradilan sebagai representasi kekuasaan yudikatif yang bebas dan independen," kata Indriyanto kepada awal media, Selasa, 5 November 2019. 

KPK Cek Terkait LHKPN Tom Lembong Punya Harta Rp 101 Miliar tapi Tak Miliki Tanah dan Kendaraan

Mantan pimpinan KPK tersebut berpendapat, putusan bebas terhadap Sofyan merupakan persoalan perbedaan persepsi dalam pembuktian tindak pidana yang diduga KPK dilakukan mantan Dirut BRI tersebut.

Bukti-bukti yang dimiliki KPK selama proses penyidikan tidak cukup meyakinkan majelis hakim ihwal keterlibatan Sofyan dalam tindak pidana penyuapan yang dilakukan Eni Saragih dan Johannes Kotjo maupun Idrus Marham terkait proyek PLTU Riau-1.

KPK Sebut Ada 48 Menteri-Wakil Menteri Prabowo Wajib Setor LHKPN Baru, Siapa Saja?

Untuk itu, kata Indriyanto, putusan bebas terhadap Sofyan menjadi momentum bagi KPK untuk mengoreksi diri, terutama menyangkut proses penyidikan dan penuntutan. Pengawasan yang ketat harus dilakukan KPK, terutama saat menangani kasus menyangkut figur tertentu.

"Putusan Bebas ini hanya menjadikan KPK untuk lakukan koreksi internal bidang penyidikan atau penuntutan, dan ini hanya perbedaan persepsi dalam soal pembuktian saja, artinya Legally Fact ini sangat minim dan belum memenuhi syarat minimal 2 alat bukti yang bisa meyakinkan hakim," kata Indriyanto.

Indriyanto menambahkan, Pasal 55 KUHP mengenai Penyertaan maupun Pasal 56 KUHP soal Pembantuan menjadi tidak relevan manakala tidak terpenuhinya minimum dua alat bukti.

"Jadi ini bukan terkait Pasal 56 KUHP sebagimana disangkakan kepada SB, tapi adanya permasalahan tidak terpenuhinya minimum dua alat bukti sebagai dasar bagi Hakim untuk memberi Putusan Bebas. Dan ini memang menjadi basis penguatan KPK ke depan dalam menangani kasus yang berdimensi celebrity cases agar lebih ketat pengawasannya," katanya. 

Indriyanto mengakui, putusan bebas lebih dikarenakan lemahnya pengumpulan minimum dua alat bukti. Dalam perkara Sofyan Basir, lembaga antikorupsi hanya berpijak pada keterangan Eni Saragih dan alat bukti penyadapan yang tak ada kaitannya dengan Sofyan atau kesaksian yang berdasarkan pada keterangan orang lain (kesaksian de auditu) yang menurut hukum bukan alat bukti.
 
"Bahkan sudah menjadi asas hukum bahwa apabila sejak awal terjadi split opinion atau keraguan, maka keraguan itu tidak bisa dijadikan dasar pengajuan kasus ke hadapan pengadilan," ujarnya. 

Menurutnya, adanya kelemahan pada sistem pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa atau coercive force yang dilakukan KPK dalam menangani suatu perkara. Untuk itu, diperlukan pengawasan internal projustitia.

"Pengalaman kami di KPK, diakui ada kelemahan pada sistem pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa seperti kasus SB dan kasus-kasus lainnya. Pengawasan Internal tidak cukup dan konsep Dewan Pengawas adalah suatu keharusan terhadap lemahnya pengawasan upaya paksa ini," ujarnya. 
 
Sementara itu, rencana Kasasi yang diajukan KPK dinilainya cukup berat untuk dikabulkan Hakim MA. Hal ini lantaran alasan utama yang dapat dipakai KPK untuk mengajukan Kasasi hanya salah penerapan hukum oleh hakim tingkat pertama. 

"Dan biasanya ini sulit (untuk) membuktikan adanya salah penerapan hukum di tingkat Kasasi MA," imbuhnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan vonis bebas terhadap mantan Direktur Utama (Dirut) PLN Sofyan Basir.

Majelis hakim menyatakan, Sofyan tak terbukti memfasilitasi pemberian suap dari pengusaha Johanes Kotjo kepada mantan anggota DPR RI Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1. Majelis hakim pun meminta Sofyan Basir dikeluarkan dari Rumah Tahanan KPK.

"Memerintahkan terdakwa Sofyan Basir segera dikeluarkan dari tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Hariono saat membacakan vonis Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 4 November 2019. 

Ketua MK Suhartoyo, Sidang Perselisihan Hasil Pilpres 2024

MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU Ciptaker Partai Buruh, Ini 21 Pasal yang Diubah

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi undang-undang (UU) Nomor 6 tahun 2023 terkait Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh.

img_title
VIVA.co.id
31 Oktober 2024