Kasus Syafruddin Temenggung Dinilai Jadi Ujian Profesionalisme KPK

Kantor KPK di Kuningan, Jakarta.
Sumber :
  • VIVA/ Edwin Firdaus.

VIVAnews - Pengamat ekonomi dan bisnis, Eko B. Supriyanto, melihat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi pimpinan Firli Bahuri kini dihadapkan pada ujian profesionalisme karena masalah yang ditinggalkan KPK periode sebelumnya.

Jaksa KPK Panggil Febri Diansyah dkk ke Sidang SYL, Ini Alasannya

KPK periode Agus Rahardjo ternyata mengajukan permohonan Peninjauan Kembali alias PK atas Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang telah divonis lepas dari segala tuntutan hukum terkait keterlibatannya dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Permohonan PK itu diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada tanggal 17 Desember 2019, tepat tiga hari sebelum pelantikan pimpinan KPK yang baru. Langkah KPK tersebut baru diumumkan kepada publik tiga minggu kemudian, tepatnya pada 9 Januari 2020, bertepatan pada hari sidang pertama pemeriksaan permohonan PK di Pengadilan Negeri Tipikor.

Anak Buah SYL Video Call Bahas 'Orang KPK' dan 'Ketua': Siapin Dolar Nanti Kami Atur

“Ketika mendengar kabar ini, saya penasaran, masa sih lembaga penegak hukum sebesar KPK tidak punya ahli hukum yang paham tentang ketentuan pengajuan PK sampai melakukan tindakan inkonstitusional seperti ini?” kata Eko yang juga Direktur Infobank Institute itu kepada wartawan, Jumat, 17 Januari 2020.

Eko mengingatkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, jelas disebutkan bahwa Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK, sekalipun atas masalah yang dianggap prinsipil. Pihak yang boleh mengajukan PK adalah terdakwa/terpidana.

Eks Sespri Sekjen Ungkap BAP KPK Bocor ke Pejabat Kementan

Surat Edaran itu juga dikuatkan oleh Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang dibuat untuk mengakhiri perbedaan pendapat terkait siapa yang berhak mengajukan PK.

Putusan MK ini mengutip Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak boleh dimaknai atau ditafsirkan lain.

Putusan MK ini bersifat final dan mengikat sesuai dengan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 3 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara atau Jaksa jelas tidak memiliki hak untuk mengajukan PK.

“Oleh karena itu, permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa KPK terkait putusan kasasi SAT merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional," kata Eko.

Permohonan PK ini, Kamis, 16 Januari 2020, kemarin, memasuki persidangan kedua mendengarkan kontra memori dari Syarifuddin Temenggung. Pemeriksaan oleh Pengadilan Tipikor diperkirakan berlangsung selama 1 (satu) bulan, sebelum diputuskan apakah permohonan itu akan diterima dan diteruskan ke Mahkamah Agung (MA) atau tidak.

Namun Eko justru menyarankan agar pimpinan KPK yang baru Firli Bahuri berani segera membatalkan pengajuan PK yang inkonstitusional ini untuk menyelamatkan muka KPK dan menjamin profesionalisme serta kepastian hukum di Indonesia.

Jika dibiarkan, kata dia, pengajuan PK ini akan menjadi preseden buruk bagi seluruh masyarakat Indonesia maupun investor dari luar negeri. Keputusan hukum di Indonesia seolah-olah bisa kehilangan legitimasi sewaktu-waktu.

“KPK periode sebelumnya sepertinya memang tidak bisa move on dari kasus SAT dan BLBI sehingga sudi menghalalkan segala cara untuk mengejar SAT, meski dengan cara-cara yang ngawur. KPK yang baru mestinya jangan mengikuti gaya kepemimpinan Agus Rahardjo. Masyarakat Indonesia rindu pada KPK yang berintegritas dan profesional. Move on, dong, KPK," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya