Polisi Pembela Penyiram Novel Dilaporkan karena Diduga Tutupi Fakta

Dua pelaku penyiraman air keras Penyidik KPK Novel Baswedan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Abdul Wahab

VIVA – Tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Pol Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri terkait dugaan pelanggaran kode etik.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Ketua tim Penasihat Hukum terdakwa penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan itu dilaporkan karena diduga telah menghilangkan barang bukti dalam perkara tersebut.

"Proses penuntasan teror yang menimpa Penyidik KPK, Novel Baswedan, semakin suram. Sehingga, dapat dipastikan, Novel selaku korban tidak akan memperoleh rasa keadilan dalam penanganan perkara ini," kata anggota tim advokasi, Kurnia Ramadhana kepada awak media, Rabu, 8 Juli 2020.

Omongan Lawas Novel Baswedan soal Karma Firli Bahuri: Tak Usah Dibalas, Nanti Jatuh Sendiri

Kurnia juga membeberkan sejumlah kejanggalan bahwa Irjen Rudy sebelum menjabat sebagai Kepala Divisi Hukum Polri, merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel. Waktu itu Irjen Rudy sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

"Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," ujarnya.

Firli Bahuri Kirim Surat ke Jokowi Nyatakan Mundur Jadi Ketua KPK, Novel: Modus Lama!

Baca juga: Bau ‘Menyengat’ Prostitusi di Diskotek Top One

Kurnia lantas memberikan penjelasan empat landasan yang membuat tim advokasi Novel melaporkan Irjen Rudy ke Divisi Propam Polri.

Pertama, soal sidik jari pelaku di botol dan gelas yang dipakai sebagai alat penyerangan, hilang. Menurut Kurnia, 17 April 2019 yang lalu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.

Padahal dalam banyak pengakuan, baik dari korban atau para saksi, gelas itu ditemukan oleh kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekira pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri.

"Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," kata Kurnia.

Kemudian ihwal botol dan gelas yang digunakan pelaku justru tidak dijadikan sebagai barang bukti dalam proses penanganan perkara ini. Bahkan, Kurnia mencurigai bila dalam perkembangan penanganan perkara tersebut, ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.

Hal ini terkait dengan pengakuan dari terdakwa yang menyebutkan bahwa persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang (pelaku) itu masih berada di markas Brimob.

"Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban, ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," kata Kurnia yang juga peneliti ICW.

Kedua, mengenai CCTV di sekitar rumah Novel Baswedan yang tidak dijadikan barang bukti. Kurnia menyebut, pada 10 Oktober 2017 yang lalu Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan bahwa kepolisian telah mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.

Namun, berdasarkan pengakuan Novel dan saksi, terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku akan tetapi tidak diambil oleh kepolisian.

Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah Novel diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk bisa memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.

Baca juga: Dahlan Iskan Bicara Wacana Pembubaran OJK, Seberapa Urgen?

"Definisi dari barang bukti sebenarnya mencakup benda-benda yang dapat memberikan keterangan bagi penyelidikan tindak pidana, baik berupa gambar ataupun rekaman suara," ujarnya.

Menurut Kurnia, fungsi dari barang bukti juga sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang ditangani.

"Dapat simpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," ujarnya.

Ketiga, yakni Cell Tower Dumps (CTD) tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara. Kurnia menjelaskan, CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.

Namun dalam proses penanganan perkara, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian.

"Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular," kata Kurnia.

Atas dasar ini, Kurnia nenuturkan, dapat dikatakan bahwa adanya upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya.

Keempat, minim penjelasan terkait sobekan baju gamis milik penyidik KPK, Novel Baswedan. Kurnia menyebut, pada persidangan tanggal 30 April 2020 majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan oleh korban saat kejadian penyiraman air keras terjadi. Namun menurutnya, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.

Merujuk pengakuan dari kepolisian, baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.

"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi," Kata Kurnia.

Dalam hal ini, imbuh Kurnia, Novel Baswedan tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.

Berdasarkan poin-poin yang disebutkan, tegas Kurnia, maka patut diduga Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan DirKriMum Polda Metro Jaya telah melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya