Memberdayakan Transmigran Berkebun Sawit untuk Hidup Layak

VIVA – Sebagai respon terhadap ajakan pemerintah untuk membangun kapasitas masyarakat transmigran dari Pulau Jawa yang pada umumnya tidak memiliki bekal pengetahuan dan pengalaman berkebun sawit, Asian Agri salah satu perusahaan sawit nasional, berpartisipasi dalam pengembangan petani melalui Program Transmigrasi Pemerintah (PIR - Trans).
Saat bergabung dalam program transmigrasi pemerintah (PIR – Trans) ini awalnya, para transmigran dari berbagai provinsi kebanyakan tidak memiliki pekerjaan tetap di desa asalnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka memutuskan bermitra dengan Asian Agri. Di tengah adaptasi budaya dan lingkungan baru, mereka hanya berharap sederhana, yaitu kelak sawit mampu meningkatkan taraf hidup dan derajat keluarga mereka.
Sukirman dan Turiyah, suami – istri asal Purbalingga, Jawa Barat memberanikan diri mendaftar sebagai transmigran ke Pulau Sumatera pada tahun 1990. Sempat berkecil hati karena disebut sebagai orang buangan, keduanya bertekad mengubah hidup lebih baik di tempat baru yang mereka bayangkan sebagai hutan belantara. Ketekunan dan kesabaran mereka memberi hasil yang melebihi harapan di awal menjadi petani sawit.
Kesan mendalam pun diuraikan Markun dan istrinya, Soimah. Keluarga petani kelapa sawit di Desa Tidar Kuranji, Kecamatan Maro Sebo Ilir, Kabupaten Batanghari, Jambi ini berputar haluan dari pekerjaannya sebagai buruh tani di Purwokerto, Jawa Tengah. Pria kelahiran tahun 1963 ini akhirnya memberanikan diri mengadu nasib bersama istri dan kedua anaknya di tahun 1995 dengan mengikuti program transmigrasi. Ketika bergabung dengan transmigran lainnya, Markun tidak berpikir muluk untuk memiliki lahan sendiri.
Dok Asian Agri.
Markun mengakui sang istri yang juga dipercaya menjadi Sekretaris Badan Pengawas Desa sejak 2013 - sangat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dengan bimbingan teknis maupun pengetahuan tentang berorganisasi, Markun kini memiliki 10 hektar kebun kelapa sawit. Meski kehidupannya membaik, Markun dan Soimah tetap bersahaja. “Kami bertahan dan berusaha keras memperbaiki kehidupan kami karena membayangkan nasib anak-anak kami kelak. Mereka harus lebih baik daripada kami,” tutur Markun yang tetap menekuni hobinya sebagai pemelihara ayam pelung dan ketawa.