Mantan Komisioner Harap MK Kembalikan Fitrah KPK 

Laode Muhammad Syarif
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, sedang diuji formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK). UU ini disahkan sebagai ganti dari UU Nomor 30Ttahun 2002. Namun peraturan baru tersebut sempat mendapat kecaman luas dari aktivis dan mahasiswa yang melihat undang-undang itu sebagai pelemahan terhadap komisi antirasuah itu.

KPK Bilang Begini Usai Mahfud MD Ingin Ganti Nama KPK

Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga mantan Komisioner KPK Laode M Syarif menaruh harapan besar pada Majelis Mahkamah Konstitusi, dalam menangani uji formil tersebut. Laode yang merupakan pimpinan KPK Jilid IV periode 2015-2019 menilai, hanya kearifan kakim MK yang dapat mengembalikan UU KPK pada fitrahnya.

"Kita sangat berharap kearifan, keindependenan, kepintaran dan keimanan hakim MK, agar UU KPK itu betul-betul dikembalikan sebagaimana adanya," kata Laode saat menyampaikan keynote speech dalam diskusi daring 'Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi: Menelisik Pengesahan UU KPK', Senin, 10 Agustus 2020.

Jokowi Bakal Pilih Pengganti Firli Bahuri dari Calon Pimpinan KPK Tidak Terpilih 2019

Baca juga: Alhamdulillah, Gaji ke-13 PNS Sudah Cair

Diketahui, Laode bersama pimpinan KPK jilid IV Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan sejumlah aktivis antikorupsi mengajukan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, ke MK.

Anies Bakal Revisi UU KPK Jika Jadi Presiden, Koruptor Dimiskinkan!

Mereka menilai proses perubahan kedua UU KPK tidak seusai dengan peraturan pembentukan undang-undang, dan bertentangan dengan UUD 1945. Laode mengatakan, hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) semakin mempertegas berbagai persoalan terkait UU KPK, baik dari sisi formil maupun materiil.

"Dari segi substansi sangat melemahkan oleh karenanya maka kita sangat berharap kepada MK karena saya termasuk pemohon untuk menguji apakah proses pembentukan UU KPK itu benar atau tidak jika dilihat dari aturan nasional di Indonesia," ujarnya.

Dia menegaskan, pemerintah maupun DPR tidak pernah melibatkan publik dalam proses revisi UU KPK hingga lahir UU Nomor 19 Tahun 2019. Tak hanya itu, kata Laode, UU tersebut terbentuk tanpa didasari naskah akademik. Bahkan KPK sebagai lembaga yang akan melaksanakan UU tersebut tak pernah dilibatkan.

KPK, kata Laode, tidak pernah menerima draf rancangan, DIM (daftar inventaris masalah) maupun surat resmi tentang pembahasan revisi UU. Untuk itu, proses pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 dinilai telah melanggar aturan bernegara.

"Ini mengukuhkan bahwa DPR dan pemerintah tidak ikuti rambu yang jadi patokan berbangsa bernegara. dan pejabat yang tidak mengikuti ya bisa dikategorikan melanggar kalau melanggar harus lawan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya