Logo BBC

Bagaimana Anak-anak Kandung Tertuduh Separatis Memandang RI

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Geliat soal kebijakan pemerintah dan kekecewaan warga negara terhadapnya maupun silang pendapat tentang keadilan serta ketidakadilan terus mencuat dalam perjalanan Indonesia. Konflik politik hingga perseteruan bersenjata mewarnai dinamikanya.

Tudingan separatisme dicapkan pemerintah kepada sejumlah gerakan yang pernah maupun masih eksis, dari GAM, PRRI, RMS, hingga OPM. Orang-orang di kelompok ini ada yang tewas, ada pula yang dihukum penjara.

Lantas bagaimana konflik itu membentuk anak-anak yang lahir dan bertumbuh bersamanya, terutama mereka yang merupakan keturunan aktivis, pejuang pro-kemerdekaan, separatis, atau apapun sebutan yang diberikan kepada orang tua mereka?

Dan bagaimana anak-anak itu saat ini menempatkan diri mereka dalam sejarah orangtua dan konteks keindonesiaan?

BBC Indonesia bertemu dan berbincang dengan lima sosok anak yang hidup dalam konflik itu, yang mampu merefleksikan ragam pertanyaan tadi.

Kami juga berbicara dengan orangtua mereka tentang bagaimana anak-anak mereka mendekonstruksi pemikiran, prinsip, dan sikap politik mereka.

`Saya pernah menutupi siapa bapak saya`

Audryn tidak datang dari keluarga yang biasa-biasa saja. Kakeknya adalah Andreas Karma, salah satu orang asli Papua pertama yang memegang jabatan kepala daerah masing-masing selama 10 tahun di Wamena dan Serui pada era Orde Baru.

Ayah Audryn adalah Filep Karma, seorang pegawai negeri sipil di Jayapura yang dua kali dipenjara karena aktivitas politik yang menuntut kemerdekaan Papua.

Filep adalah satu dari beberapa orang yang paling lama dihukum penjara atas dakwaan makar. Tahun 2005 dia dihukum 15 tahun penjara, lalu dikeluarkan dari Lapas Abepura pada 2015, ia sempat menolak dibebaskan.

Namun Audryn tidak pernah betul-betul membuka jati dirinya selama masa remaja. Merantau ke Bandung, Jawa Barat, untuk kuliah tak lama setelah Filep dipenjara. Audryn cemas bakal dirundung sebagai orang Papua dan anak seorang tahanan politik, istilah yang digunakan kelompok HAM, tapi ditolak pemerintah.

"Bapak ditangkap waktu saya usia 17 tahun, waktu saya ada di masa-masa labil. Saya jadi orang yang sangat tertutup," kata Audryn.

"Kalau ketemu orang, mereka tahu saya dari Papua, tapi saya benar-benar menutup siapa bapak saya. Saya datang ke Bandung saja sudah menghadapi ejekan rasial, jadi orang tidak perlu tahu lagi siapa saya," tuturnya.

Papua
AFP
Lembaga advokasi HAM, Amnesty International, mendorong warga sipil, termasuk anak-anak, di Amerika Serikat untuk menggugat hukuman penjara untuk Filep Karma.

Audryn kini berumur 33 tahun. Ia bekerja di Dekai, Kabupaten Yahukimo, sebagai dokter gigi.

Sebelum berada di titik kehidupannya saat ini, Audryn menyebut dirinya mengalami pergulatan hidup yang luar biasa setelah ayahnya dipenjara.

Audryn berkata, saat itu banyak orang ragu ia bisa keluar dari bayang-bayang marga Karma. Rencananya menempuh pendidikan tinggi di Bandung pun mengalami banyak ketidakpastian.

"Orang-orang di Papua bilang saya sebaiknya tidak keluar, mereka takut saya akan dapat teror di Jawa. Tapi saya punya mimpi dan ingin berkembang. Saya mau tahu di luar Papua seperti apa," ucapnya.

"Guru saya juga ragu apakah saya bisa kuliah dalam kondisi itu. Saya bingung. Tapi bapak mendukung, dia bilang `pasti ada jalan, kita pasti dapat berkat`," kata Audryn.

Dan kecamuk persoalan itu menuntut pengorbanan. Audryn berkata, ibunya, Ratu Karel Lina, menjual banyak barang agar Audryn dan adiknya, Andrefina, dapat terus bersekolah.

Keuangan keluarga carut-marut setelah Filep dipenjara, kata Audryn. Ibunya memilih menyewakan rumah keluarga mereka di sebuah kawasan elite di kota Jayapura, lalu tinggal di indekos.

Tanpa bantuan finansial dari keluarga besar, Audryn ragu keluarganya bisa bertahan dalam kondisi itu.

Di perantauan, Audryn sempat membatasi pergaulan hanya dengan kawan-kawan asal Papua. Ia merasakan penolakan dari lingkungan sekitarnya terhadap orang-orang berkulit gelap—walau secara fisik ia mengaku `sedikit lebih beruntung` ketimbang teman-temannya yang asli Papua.

Dalam diri Audryn tidak hanya mengalur darah Papua, tapi juga Melayu-Jawa dari ibunya. Itu, kata Audryn, mempengaruhi penampilan fisiknya.

"Kami lebih sering membuat komunitas sendiri. Pada saat berkumpul itulah kami berbagi pengalaman diejek orang-orang."

"Pada momen itu kami saling memberi kekuatan untuk bisa bertahan tetap kuliah di perantauan," ujarnya.

Paradigma Audryn tentang identitasnya baru berubah saat berusia 25 tahun. Pemicunya adalah pergaulannya dengan orang-orang yang dia sebut `berwawasan hak asasi manusia`.

Semenjak Filep dipenjara, Audryn bergaul erat dengan pegiat HAM. Tahun 2011, misalnya, dia diundang ke Amerika Serikat untuk mengikuti kampanye penghormatan HAM yang digagas Amnesty International. Pada momen itu pula, dia menyuarakan desakan pembebasan terhadap ayahnya.

"Saya jadi tahu bahwa ternyata ada orang-orang yang tidak peduli siapa bapak saya," kata Audryn.

"Itu menghadirkan paradigma bahwa saya tidak perlu malu apa pendapat orang. Yang penting saya berbuat baik pada orang. Itu juga yang selalu ditanamkan oleh bapak."

"Sekarang saya benar-benar terbuka, bahwa saya orang Papua dan bapak saya orang OPM (Organisasi Papua Merdeka). Terserah orang mau bicara apa," ucapnya.