BIN Jelaskan Fenomena Tes Swab COVID-19 Positif Jadi Negatif

BIN menggelar pemeriksaan kesehatan deteksi dini penyebaran COVID-19 dengan metode swab terhadap para pegawai Kementerian Sosial di Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVA/Vicky Fazri

VIVA – Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto angkat bicara terkait pertanyaan akurasi hasil tes usap atau swab test COVID-19 yang dilakukan lembaganya selama ini. Dalam melakukan proses uji spesimen, lanjut dia, laboratorium BIN menggunakan dua jenis mesin reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR).

COVID-19 di Jakarta Naik Lagi, Total Ada 365 Kasus

“Yaitu, jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific dari Amerika Serikat dan memiliki sertifikat Lab BSL-2 yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium, telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec (Singapura),” kata Wawan melalui keterangan tertulis, Senin 28 September 2020.

Baca juga: Innalillahi, Dirjen KKP Aryo Hanggono Meninggal Diduga Akibat COVID-19

Kasus COVID-19 di DKI Jakarta Naik Sejak November 2023

BIN, lanjut dia, telah melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil. Sehingga layak digunakan untuk analisis RT-PCR yang sesuai standar. 

“BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR tes yang lebih tinggi dibandingkan institusi atau lembaga lain yang tercermin dari nilai CT qPCR (ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah OTG lolos screening maka BIN menaikkan 40). Termasuk melakukan uji validasi melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N DAN ORF1ab,” paparnya.

Pakar Imbau, Waspadai Pandemi Disease X, Mematikan Dibanding COVID-19

Wawan menambahkan, dewan analis strategis Medical Intelligence BIN, termasuk jaringan intelijen WHO menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru, dan dapat disebabkan oleh: 

1.    RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang sehingga tak lagi terdeteksi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.

2.    Terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab sel yang berisi virus COVID tidak terambil dan terkontaminasi.

3.    Sensitivitas reagen dapat berbeda terutama bagi pasien yang nilai CQ/CTnya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN mengaku menggunakan reagen Perkin Elmer dari Amerika, A-Star Fortitude dari Singapura, dan Wuhan Easy Diag dari China. Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitas terhadap strain COVID-19 dibandingkan merek lain seperti Genolution dari Korea atau Liferiver dari China yang digunakan beberapa rumah sakit.

“BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sample COVID-19. Kasus false positif dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Chaina dan Swedia,” katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya