KPA Siap Judicial Review Omnibus Law ke MK

Buruh demo tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

VIVA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Jelang Putusan MK, Jimly: Semua Harus Terima Meski Tak Memuaskan

Sekjen KPA Dewi Kartika menyatakan, sejak Februari 2020 pihaknya menolak keseluruhan UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan.

Dewi menerangkan, KPA pun telah menyampaikan sikap dan aspirasi penolakan dengan beragam cara, termasuk melalui aksi massa sejak Juli sampai September 2020 di tingkat nasional dan daerah.

Airlangga: Anggaran Tertinggi Perlinsos Dipakai Untuk Subsidi BBM, Bukan Bansos

"Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Sebab sistem ekonomi-politik agraria yang ultraneoliberal dalam UU Cipta Kerja dengan cara mendorong liberalisasi lebih luas sumber-sumber agraria dan sistem pasar tanah, nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi kita," kata Dewi kepada awak media pada Selasa, 6 Oktober 2020.

Baca juga: Politikus Demokrat Tidak Terima Mikrofonnya Dimatikan Puan Maharani

Hotman Paris Bilang BW dan Refly Harun Ngeyel saat Bahas Sirekap, Kena Tegur Hakim MK

Dewi menilai, UU Cipta Kerja yang disahkan DPR akan membuat kapitalisme agraria menguat di Indonesia.

Dia menyebut, DPR tidak mempunyai sensitivitas krisis pada masa pandemi COVID-19. Parlemen gagal menjadi rumah sejati bagi rakyat hingga dianggap bertindak mengelabui rakyat, dengan memajukan lebih cepat sidang paripurna pembahasan tingkat II membahas keputusan RUU Cipta Kerja, yang sedianya dijadwalkan 8 Oktober 2020.

"Sekali lagi, kewibawaan institusi wakil rakyat, prinsip keterbukaan proses dan kepercayaan publik dihancurkan DPR RI," ujarnya.

KPA mengecam keras langkah inkontitusional DPR RI. Menurutnya, hal ini jadi ironi mengingat DPR yang diberikan mandat oleh seluruh bangsa untuk menjaga dan menegakkan konstitusi justru mengingkari konstitusi.

Ia menambahkan, tugas legislasi (produksi UU) seolah segalanya, sehingga elit-elit politik dan kekuasaan lebih memilih mengingkari UUD 1945 dan UUPA 1960 demi orientasi investasi skala besar.

"Banyak pula keputusan Mahkamah Konsitusi yang menyangkut agraria, hajat hidup petani dan rakyat kecil telah dilanggar dengan disahkannya UU Cipta Kerja,"  kata Dewi.

Selain itu, menurut Dewi, DPR dan pemerintah telah mengklaim agenda Reforma Agraria menjadi bagian dari keberpihakan UU.

Pernyataan yang dilontarkan di antaranya oleh Taufik Basari yakni anggota Baleg dari Fraksi NaDdem dan Menko Airlangga Hartanto, dia menilai, adalah bentuk penyesatan publik.

Hal itu, lanjutnya, bak memperjelas ketidakpahaman pejabat publik dan pejabat politik tentang esensi dan prinsip pokok reforma agraria.

“Reforma agraria dengan basis pemenuhan keadilan sosial untuk petani dan rakyat kecil tidak mungkin diletakan dalam dasar-dasar pengadaan tanah bagi investor kakap, yang selama ini banyak berpraktik merampas dan menggusur tanah rakyat," ujarnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya