Terdakwa Penanam Ganja Ajukan Uji Materi UU Narkotika

Barang bukti tanaman ganja
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Terdakwa perkara ganja di Pengadilan Negeri Surabaya, Ardian Aldiano alias Dino (21 tahun), mengajukan uji materi atas pasal yang didakwakan kepadanya, Pasal 111 Ayat (2) dan Pasal 114 Ayat (2) Undang-undang Narkotika, kepada Mahkamah Konstitusi (MK) RI. Ia meminta MK menafsirkan dan menjelaskan secara terang frasa 'pohon' dalam pasal tersebut.

Sekjen PKS: Selamat Bertugas kepada Pak Prabowo dan Wakilnya

Dino duduk sebagai pesakitan karena didakwa menanam 27 pohon ganja secara organik di kontrakannya di Surabaya, Jawa Timur, beberapa bulan lalu. Tinggi pohon yang ia tanam rata-rata 3-40 sentimeter.

Ia didakwa dengan 114 Ayat (2) Undang-undang Narkotika dan dituntut sembilan tahun penjara. Uji materi dimohonkan terdakwa melalui kuasa hukumnya, Singgih Tomi Gumilang dari kantor Sitomgum & Co.| Law Office. 

Jokowi: Prabowo-Gibran Harus Siapkan Perencanaan untuk Wujudkan Janji Kampanye

"Yang kami minta (uji materiil) itu adalah memberikan tafsir konstitusi frasa 'pohon' pada pasal 114 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika," kata Singgih kepada wartawan pada Minggu, 11 Oktober 2020. 

Baca juga: Omnibus Law Cipta Kerja Masih Diyakini Bisa Genjot Pertumbuhan Ekonomi

Prabowo-Gibran Menang Pilpres 2024, AHY: Saatnya Rekonsiliasi

Pasal 114 Ayat (2) berbunyi: Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Beberapa alasan kenapa kliennya mengajukan permohonan uji materi ke MK. Di antaranya, dalam penegakan hukum di lapangan, menanam ganja dengan ketinggian 5 cm, dengan menanam ganja berketinggian lima meter atau lebih dianggap sama. Padahal, hal itu akan berimplikasi pada ganjaran hukuman yang harus diterima.

"Padahal, dalam undang-undang narkotika ini masih dikenal istilah gramasi (bobot/berat). Jadi bisa dibayangkan, kalau ada tanaman dengan tinggi 5 cm dan 5 meter dianggap sama, ini tentu merugikan klien kami. Sebab, antara ganja bobot 5 gram dengan 1 kilogram, nanti bisa dianggap sama. Ini tentu sangat berpengaruh terhadap hukuman yang nantinya akan diterima," ujar Singgih. 

Ia mencontohkan perkara Fidelis, penanam pohon ganja untuk istrinya yang sakit di Kalimantan yang hanya dituntut 5 bulan dari jaksa dan divonis 8 bulan. Padahal, bila kliennya dikategorikan sebagai penanam, maka telah terjadi disparitas (perbedaan) hukuman. 

"Dalam UU Narkotika, tidak dikenal bibit tanaman, yang ada adalah pohon. Berapa pun tingginya, disebut pohon. Padahal, tafsir frasa pohon sendiri menurut situs yang saya temukan di website Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta https://dendrology.fkt.ugm.ac.id/2017/08/10/bedanya-herba-perdu-dan-pohon/ berbunyi, tumbuhan  yang  mempunyai  akar,  batang,  dan  tajuk  yang  jelas,  dengan  tinggi  minimum  5  meter," kata Singgih. 

Singgih berharap MK mengabulkan permohonannya. Jika dikabulkan, ia akan menjadikan putusan MK itu sebagai bukti baru atau novum sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali atau PK atas perkara kliennya.

"Klien kami hanya minta keadilan yang sama di mata hukum. Jangan sampai kasusnya sama, tapi hukumannya bisa berbeda," katanya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya