Joko Hartono Divonis Seumur Hidup, Pengacara: Tak Sesuai Fakta Sidang

Suasana persidangan korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor.
Sumber :
  • VIVAnews/ Edwin Firdaus.

VIVA – Tim penasihat hukum Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto, membantah kliennya mengendalikan sejumlah manajer investasi (MI) melakukan pembelian saham-saham untuk investasi PT Asuransi Jiwasraya

27 Korban Penipuan Investasi Rp52 Miliar Geruduk Rumah Orang Tua Pelaku di Tasikmalaya

Hal itu ditegaskan untuk menyoalkan putusan majelis hakim pengadilan yang memutus Joko pidana penjara seumur hidup. 

“Bagaimana mungkin dia (Joko Hartono Tirto) mengendalikan Jiwasraya? Jadi, dia tak mungkin bisa mengendalikan Jiwasraya,” kata ketua tim penasihat hukum, Soesilo Aribowo, dikonfirmasi awak media, Selasa, 13 Oktober 2020.

Jangan Sampai Terjerat Pinjol, Ini Tips Kelola Keuangan Lebih Cerdas

Menurut Soesilo, selain jumlah sahamnya banyak, Joko Hartono bukanlah pejabat Asuransi Jiwasraya. Kondisi ini, terang Soesilo, mengonfirmasi Joko Hartono tidak memiliki wewenang mengendalikan perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu.

“Itu tidak nalar menurut saya. Dia (Joko Hartono) tidak punya kemampuan untuk mencegah pilihan investasi oleh Jiwasraya, nggak bisa,” ujarnya.

Anak Buah SYL Video Call Bahas 'Orang KPK' dan 'Ketua': Siapin Dolar Nanti Kami Atur

Soesilo juga menilai, tuduhan mengendalikan sejumlah MI sangat tidak masuk akal. Karena itulah, pertimbangan yang dibuat majelis hakim dalam menjatuhkan putusan tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.

“Dan lebih ke copy paste dari surat tuntutan jaksa,” kata Soesilo.

Soesilo menambahkan, putusan majelis hakim ini sangat mengagetkan. Sebab, ini perkara yang sulit, baik untuk jaksa maupun majelis hakim.

“Terus terang saya kaget dan mengecewakan. Karena, saya pikir, ini perkara yang sulit bagi jaksa,” ujarnya. 

Menurutnya, perkara berkaitan pasar modal ini sangat rumit. Hal ini membuat jaksa tidak mudah mengurai perkara ini. Sisi lain, jaksa diberi waktu sangat singkat membuat tuntutan sehingga terkesan tidak siap. 

Ketidaksiapan jaksa, Soesilo menjelaskan, terlihat dari materi tuntutan dan dakwaan yang dibuat jaksa yang selalu berubah. Hal semacam ini sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh jaksa.

“Saya sudah 30 tahun menjadi pengacara, dan baru kali ini saya alami kalau surat tuntutan itu berubah dan ditambahkan di replik,” kata Soesilo.  

Selain itu, Soesilo mengatakan, pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan tuntutan tidak maksimal. Betapa tidak, dia menambahkan, pengadilan dalam waktu singkat harus menyerap apa yang menjadi fakta-fakta pasar modal itu. 

“Dan ini sangat sulit sekali,” tuturnya. 

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup terhadap empat terdakwa kasus korupsi atas pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Jiwasraya.

Mereka ialah mantan Direktur Utama PT AJS, Hendrisman Rahim; mantan Direktur Keuangan PT AJS, Hary Prasetyo; mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT AJS, Syahmirwan; dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto.

Hakim menilai para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama di perusahaan pelat merah tersebut.

Mereka dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tindak pidana korupsi terkait Jiwasraya ini telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun.

Vonis ini sama dan/atau lebih berat dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, Hendrisman Rahim dituntut dengan pidana 20 tahun penjara; Hary Prasetyo dituntut seumur hidup; Syahmirwan dituntut 18 tahun penjara; dan Joko Hartono Tirto dituntut pidana seumur hidup.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya