Seputar Mitos dan Fakta Soal Vaksin, Ini Penjelasannya

Anggota Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas COVID-19, dokter Reisa Broto Asmoro
Sumber :
  • covid19.go.id

VIVA – Vaksin telah menjadi penyelamat manusia dari berbagai macam jenis penyakit. Beberapa contoh yang dapat dilihat yakni seperti Campak, Polio, Difteri, Rubella, varicella, dan masih banyak lagi yang di masa lalu menyebabkan penyakit berat bahkan kematian pada umat manusia. 

Investasi di Indonesia, Menperin Ingatkan Apple harus Penuhi Aturan TKDN

Walaupun vaksin sudah terbukti efektif untuk mencegah banyak penyakit, namun masih banyak yang tidak ingin melakukan program imunisasi, bahkan tidak percaya akan vaksin.

Banyak yang masih menganggap bahwa vaksin sama saja dengan memasukkan penyakit ke dalam tubuh, padahal, sebenarnya vaksin hanya menggunakan satu bagian dari kuman yang direkayasa secara bioteknologi, partikel protein kuman atau kuman yang sangat dilemahkan. Sehingga, tubuh dapat meresponsnya dengan membentuk antibodi yang kuat. 

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Ketika Anda terjangkit bibit penyakit yang sebenarnya, tubuh sudah siap menangkalnya. Sehingga tidak berkembang menjadi penyakit yang berbahaya dan mengakibatkan kematian. Terlebih lagi proses pembuatan vaksin pasti akan melalui tahap uji klinis yang ketat dan juga uji keamanan sebelum pada akhirnya didistribusikan kepada masyarakat.

"Jika masih ada masyarakat yang khawatir bahwa vaksin ini seolah memasukkan penyakit ke dalam tubuh, itu artinya kurang informasi ya," ujar Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Reisa Broto Asmoro, Kamis 15 Oktober 2020.

Kominfo Ancam Blokir 6 Platform Online Travel Agent yang Belum Daftar Sebagai PSE

Ada anggapan lain yang mengatakan bahwa vaksin itu berbahaya karena dapat menyebabkan autisme pada seseorang. Hal tersebut tidak benar karena faktanya adalah penelitian yang menyatakan hal tersebut, merupakan penelitian yang tidak valid yang dilakukan oleh Andrew Wakefield pada tahun 1998. 

Di mana beliau terbukti melakukan kecurangan penelitian yang mengakibatkan penelitian tersebut dicabut. Dan, pada akhirnya General Medical Council tidak memperbolehkannya untuk berpraktik lagi di Inggris dari tahun 2010.

Vaksin juga dianggap mengandung merkuri yang berbahaya bagi tubuh, namun faktanya jumlah penggunaan Thimerosal, suatu jenis ethylmercury yang berguna sebagai pengawet vaksin, sangat sedikit dan tidak berisiko buruk bagi kesehatan. 

"Jadi masyarakat tidak perlu khawatir. Sebelum diproduksi massal dan diedarkan vaksin sudah melalui evaluasi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah," tambahnya.

Ada juga mitos lainnya perihal vaksin adalah apabila menyuntikkan vaksin secara simultan akan melemahkan daya tahan. Sementara itu manusia terpapar banyak sekali bakteri, kuman, dan penyakit lainnya setiap hari. 

Faktanya, sejak bayi baru dilahirkan, ia sudah bisa menerima vaksinasi atau imunisasi sebagai langkah untuk mencegah penularan penyakit. Berdasarkan data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), imunisasi mampu mencegah 2-3 juta kematian anak setiap tahunnya. 

Maka, pemberian imunisasi penting untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan vaksinasi, hal-hal buruk seperti komplikasi penyakit kecacatan, bahkan kematian dapat dihindari. Vaksin juga terbukti dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan kalau terkena penyakit tersebut.

Peningkatan kasus kanker juga disebut sebagai salah satu dampak dari vaksinasi, faktanya vaksin tidak menyebabkan kanker dan justru dapat membantu mencegah kanker. Salah satunya adalah kanker mulut rahim yang disebabkan oleh virus HPV yang kini telah tersedia vaksinnya.

Mitos Microchip
Salah satu mitos yang juga ramai dibicarakan yaitu terdapatnya microchip di dalam vaksin untuk melacak seseorang. Hal ini sudah pasti mitos belaka. Karena vaksin hanyalah berisi kuman tidak aktif, yang dilemahkan atau partikelnya dan bahan media pembawa dan pengaman kumannya saja dan bukti lainnya yaitu tidak ada microchip yang dapat lewat melalui jarum suntik.

"Maka vaksinasi ini sangatlah penting. Vaksin dapat membuat kekebalan tubuh kita siap untuk melawan dan mengalahkan kuman penyebab penyakit. Kalau ada kuman yakni virus atau bakteri yang masuk ke tubuh kita, maka sudah kebal atau tidak tertular. Walaupun sampai terinfeksi, tidak akan separah atau sefatal kalau tidak dilakukan vaksinasi," ujar dr. Reisa.

Sementara itu, dr. Windhi Kresnawati SpA, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli mengatakan, mitos yang sering jadi perbincangan lainnya adalah penyakit yang sudah ada vaksinnya tidak butuh vaksinasi lagi. 

Riset menunjukkan penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Menurutnya, di AS hal itu juga terjadi. tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. 

"Pada  tahun 1970an, Jepang mengalami kenaikan angka Pertusis (batuk rejan) saat angka cakupan vaksinasi turun. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita," ungkapnya.

Windhi juga menjelaskan bahwa isu mengenai kandungan vaksin yang menggunakan sel janin aborsi adalah mitos. Pada proses pembuatan vaksin, virus dikembangbiakkan menggunakan media sel hidup, dan proses tersebut terjadi hanya di awal pembuatan vaksin (misalnya vaksin MMR pada tahun 1960-an). 

"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana sel hidup digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," ujar Windhi. 

Jumlah pasien COVID-19 masih tinggi, maka jangan lupakan 3M: memakai masker, menjaga jarak dan hindari kerumunan, serta mencuci tangan. (ren)

#pakaimasker
#jagajarakhindarikerumunan
#cucitanganpakaisabun
#ingatpesanibu
#satgascovid19

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya