PAN Tak Setuju Usulan Surya Paloh Ambang Batas Parlemen 2024 7 Persen

Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi saat konferensi pers tentang penyelenggaraan Rakernas partai itu di Jakarta, Minggu, 3 Mei 2020.
Sumber :
  • VIVA/Eka Permadi

VIVA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi, mempertanyakan usulan kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) hingga 7 persen bagi partai politik bisa masuk ke DPR pada Pemilu Legislatif 2024 mendatang.

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datang ke Rumah Prabowo, Surya Paloh Sebut Ada Urusan Pilkada

Wacana PT 7 persen itu diutarakan kembali oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Menurut Viva, usulan itu sama saja dengan menginginkan pengurangan partai politik di DPR. Dimana saat ini ada 10 partai yang bertengger di parlemen dengan PT saat ini 4 persen.

“Menurut PAN, apakah adanya 10 partai politik yang lolos PT di DPR terlalu banyak? Apakah sistem multipartai ini di era politik modern telah menyebabkan instabilitas politik?,” ujar Viva kepada wartawan, Jumat 13 November 2020.

Surya Paloh Pikir-pikir Usung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024

PAN berpandangan bahwa pengurangan atau membatasi jumlah partai politik melalui penerapan PT, harus berdasarkan kaidah ilmiah yang diterima secara obyektif dan dapat diuji secara akademis. 

Sementara usulan dari Surya Paloh tersebut, dianggapnya sebagai langkah politik yang tidak teruji secara akademik.

Nasdem dan PKS Diskusi Ikut Koalisi atau Oposisi, Surya Paloh: Masih Dikaji, Belum Final

“Tidak hanya dalam perspektif pendekatan politik. Tetapi melalui jalan politik akal sehat, politik yang rasional,” ujarnya.

Ia mencontohkan sejarah penerapan PT di Jerman, menurut Reynold (2005), The International IDEA, adalah untuk menghambat kaum ekstrimis terpilih dan menghilangkan partai kecil mendapatkan kursi di parlemen.

Setiap negara berbeda dalam penerapan PT. Argentina, Brasil, Ukraina menerapkan PT 3 persen, Bulgaria dan Italia PT 4 persen, serta Kroasia dan Polandia PT 5 persen. 

“Jadi, penerapan PT di Undang-undang pemilu adalah keputusan politik,” tegasnya.

Sehingga berapapun PT diberlakukan, meski dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan ia menyakini hal itu dipastikan akan ditolak MK dengan alasan persoalan PT adalah open legal policy dari pembuat Undang-undang. Dan MK sudah melakukan hal itu.

“PAN berpandangan bahwa efektivitas dan stabilitas pemerintahan tidak berdasarkan jumlah partai politik tetapi berdasarkan perbedaan ideologi politik dari partai yang di DPR. Saat ini, partai politik meski memiliki ideologi politik yang menjadi ciri khasnya tetapi perbedaan ideologi partai tidak dalam posisi berlawanan/ diametral, karena dipersatukan oleh Pancasila dan komitmen kebangsaan,” papar politisi asal Lamongan Jawa Timur itu.

Di samping itu, sistem multipartai di Indonesia saat ini adalah cerminan dari multikultural masyarakat Indonesia yang pluralis atau beragam suku bangsa, agama, adat, dan budaya. Ini harus diakomodasi secara politik di partai politik. 

“Makanya di UU Nomor 7 Tahun 2017 dinyatakan bahwa salah satu fungsi partai politik sebagai alat pemersatu bangsa,” katanya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya