DPR: Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Bertentangan dengan UU

Ilustrasi TNI
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA - Anggota Komisi I DPR, Farah Puteri Nahlia, menilai rancangan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme bertentangan dengan Undang Undang TNI. Alasannya karena penindakan dapat dilakukan tanpa melalui keputusan politik negara.

Bantu Perangi Terorisme di Afrika, Adakah Niat Terselubung Amerika?

"Jika militer ingin dilibatkan, maka keputusan politik negara harus menjadi syarat mutlak, yaitu keputusan yang diambil berdasarkan hubungan check and balances antara pemerintah dan DPR," kata Farah dalam sebuah diskusi, Selasa, 17 November 2020.

Baca juga: LIPI: Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme Pilihan Terakhir

Pemkab Tangerang Benarkan PNS Mereka Ditangkap Densus

Selain itu, menurut Farah, pengaturan terkait sumber anggaran juga bertentangan dengan UU TNI yaitu sumber anggaran seharusnya bersumber tunggal hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jika dibuka terlalu luas seperti yang diatur dalam rancangan perpres ini, maka ada potensi terjadinya konflik kepentingan," kata Farah.

IDI Sukoharjo Minta Kasus Sunardi Tak Dikaitan dengan Profesi Dokter

Untuk itu, lanjut Farah, DPR akan berkonsultasi dengan masyarakat sipil, akademisi, dan LSM untuk mendapatkan masukan terkait rancangan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

"Jadi agar jangan sampai nanti ketika disahkan justru menuai kontroversi," tutur Farah.

Sementara itu, Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme belum mencerminkan adanya perspektif perempuan dalam menangkal terorisme. Padahal keterlibatan aktif dari perempuan telah terbukti berperan positif menjaga perdamaian.

Menurutnya, UU yang dijadikan dasar oleh perpres ini mempunyai pasal-pasal multitafsir, sehingga draf perpres ini juga jadinya bermasalah, seperti halnya terkait pengerahan TNI misalnya; tidak ada pembedaan yang jelas antara pengerahan yang sifatnya mendesak dan yang perlu konsultasi.

"Tidak ada kriteria yang memperhatikan kebijakan publik tersebut," tuturnya.

Dia menuturkan, definisi objek vital juga terlalu luas, sehingga menimbulkan multitafsir.

“Jika masyarakat menentang pembangunan infrastruktur yang tidak dikonsultasikan kepada masyarakat terdampak misalnya, maka melalui rancangan perpres ini ada peluang untuk kriminalisasi," lanjut Yentri.

Selain itu, tambah dia, pensejajaran aktor-aktor yang terlibat dalam penanganan terorisme yang diatur dalam rancangan perpres ini, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), TNI, dan Polri, bisa mengakibatkan terjadinya tumpang tindih, dan kompetisi, bahkan kompetisi dalam konteks anggaran.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya