Pengacara Petinggi KAMI Laporkan Kabareskrim Listyo ke Komnas HAM

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA –  Penasihat Hukum petinggi Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat mengaku telah melaporkan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada Komnas HAM. Laporan tersebut dilakukan pada Rabu pekan lalu itu berkaitan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan Listyo.

Sosok Jenderal Bintang 4 di Tubuh Polri yang Masih Aktif, Kini Jadi Pemimpin Tertinggi

Listyo dianggap telah melanggar unsur HAM dalam penangkapan dan proses hukum yang dilalui Jumhur Hidayat dkk terkait kasus dugaan berita bohong serta penghasutan unjuk rasa penolakan omnibus law UU Cipta Kerja.

"Apa saja yang dilanggar? Ada banyak, ya?” Kata Nelson Nikodemus, Sabtu, 19 Desember 2020.

Komnas HAM Laporkan Ratusan Kasus HAM di Papua pada 2023 kepada Menko Polhukam

Nelson merincikan, pertama proses penangkapan yang tak sesuai dengan standar, yaitu tidak menunjukan tanda pengenal dan bahkan tidak menunjukan surat penangkapan.

Ia menilai kepolisian juga tidak konsisten dalam menyatakan pasal yang disangkakan pada kliennya.

Hak Disabilitas, Kematian Petugas hingga Netralitas Aparat dalam Pemilu Disorot Komnas HAM

Dia melanjutkan, awal ditangkap kliennya dituding menunggangi unjuk rasa. Namun, saat sudah ditangkap, yang disangkakan kepadanya justru Pasal 45 A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu.

Diketahui, Jumhur juga dijerat Pasal 160 KUHP terkait penghasutan oleh Polri. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri bahkan sudah melimpahkan kasus ini ke Kejari Medan pada 7 Desember 2020 lalu.

Nelson menyebut sangkaan itu tidak berdasar, terlebih karena bukti yang dikaitkan adalah cuitan Jumhur di akun Twitter yang menurutnya hanya berupa kritik terhadap UU Ciptaker dan investor.

Begitu ditahan, kata Nelson, Jumhur juga tak diberi akses untuk bertemu dengan kuasa hukum. Jumhur juga tidak diperbolehkan memilih kuasa hukum yang mendampinginya ketika diperiksa aparat. 

Menurut Nelson, itu melanggar hak tiap orang untuk memilih kuasa hukumnya ketika terjerat hukum.

"Setelah ditahan di Bareskrim keluarga tidak boleh bertemu. Memang pernah bertemu sekali, tapi ya sudah itu saja. Dan saat bertemu (pembicaraan mereka) didengarkan oleh kepolisian," kata Nelson.

Nelson lebih jauh mengatakan, perlakuan aparat kepolisian dalam proses hukum Jumhur setidaknya sudah melanggar Pasal 18 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 72, Pasal 55, dan Pasal 70 ayat (1).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya