AJI Catat Kasus Media Digital 2020: Marak Doxing hingga Peretasan

Ilustrasi/peretasan
Sumber :

VIVA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sejumlah kekerasan terhadap jurnalis dan perusahaan media dilakukan di ranah digital. Kasus terbaru adalah jurnalis Tempo yang mengalami percobaan peretasan pada 24 Desember 2020, usai menulis laporan pembagian bantuan sosial (bansos).

Curhat Jurnalis Asing Kala Bertugas di China

"Adapun akun yang akan diretas yaitu email, akun media sosial, dan aplikasi pengirim pesan instan di ponselnya," kata Ketua AJI, Abdul Manan, dalam acara konferensi pres daring di Jakarta, Senin, 28 Desember 2020.

Pada 21 Agustus lalu, kata dia, Tempo.co dan Tirto.id juga mengalami peretasan. Berdasarkan keterangan dari Pemred Tirto.id Sapto Anggoro, pelaku meretas akun email editor Tirto.id. Lalu mereka masuk ke sistem manajemen konten (CMS) dan menghapus 7 artikel Tirto.id, termasuk artikel yang kritis tentang klaim obat corona.

Situasi Makin Gawat, Israel Targetkan Serang Wilayah Nuklir Iran di Kota Isfahan

"Pelaku peretasan terhadap Tempo.co berusaha mematikan server meski tidak berhasil. Namun peretas bisa mengubah tampilan website Tempo.co," katanya.

Kemudian, media lain yang mendapatkan peretasan di antaranya adalah situs Magdelene.co dan Konde.co. Dua media yang rutin menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas itu juga mendapat serangan digital. Magdalene.co mendapatkan serangan Ddos (serangan dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server, sistem, atau jaringan) yang mengakibatkan situs Magdalene down dan tak bisa diakses.

Ledakan Terdengar di Bandara hingga Pusat Nuklir Iran

Sedangkan Konde.co sejak tanggal 15 Mei 2020 juga tak bisa lagi mengakses akun Twitter-nya. Konde mendapat informasi adanya pembukaan akun twitternya secara paksa oleh seseorang di Surabaya, Yogyakarta, dan Belanda.

Selain peretasan, AJI juga menyoroti kasus doxing yang terjadi sepanjang 2020. Kata Manan, doxing adalah pelacakan dan pembongkaran identitas seseorang, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. Ini seperti yang dialami jurnalis cek fakta Liputan6.com.

Menurutnya, serangan doxing dilancarkan terkait karya jurnalistik korban yang dipublikasikan pada 10 September 2020. Sehari kemudian, pelaku melancarkan serangan, dengan mempubikasikan data-data pribadinya di sejumlah akun media sosial, termasuk Instagram dan Telegram. Foto pribadi jurnalis Liputan6.com diambil tanpa izin, diubah menjadi animasi, untuk mendiskreditkan korban.

Ika Ningtyas dan Zainal Ishaq, dua jurnalis dan pemeriksa fakta Tempo.co juga mengalami doxing saat menjalankan pekerjaannya. Kasus doxing ini bermula ketika CekFakta Tempo menerbitkan 4 artikel hasil verifikasi terhadap klaim dokter hewan M. Indro Cahyono terkait COVID-19 sejak April-Juli 2020.

Kasus serangan siber juga dialami jurnalis Detik.com. Pemicunya adalah berita soal rencana kunjungan Presiden Jokowi ke Bekasi untuk membuka pusat perbelanjaan pada 26 Mei 2020. Rencana Jokowi itu menjadi sorotan luas publik. Rencana Presiden membuka mal di tengah pandemi yang masih menggila, menuai kritik tajam.

Jurnalis Detik.com yang menulis berita itu juga menjadi sasaran kemarahan pendukung presiden. Serangan secara digital dilakukan dengan mengekspos identitasnya. Ia juga mendapatkan ancaman pembunuhan dan diteror dengan order makanan fiktif.

Persoalan lain, salah satu regulasi yang menjadi sorotan AJI Indonesia adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020. Undang-undang sapu jagat ini berusaha mengubah sejumlah undang-undang sekaligus.

"Semula akan mencakup 79 undang-undang, belakangan ada yang dikeluarkan dari pembahasan namun ada juga yang dimasukkan lagi menjelang akhir," katanya.

Undang-undang yang berhubungan dengan jurnalis dan media yang hendak diubah adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Pers kemudian dikeluarkan dari pembahasan setelah mendapat protes dari komunitas pers.

AJI Indonesia juga menyoroti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan yang ditetapkan pada 27 November 2020. Salah satu yang diatur dalam aturan tersebut yaitu pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 4 ayat 6 yang berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan." Pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat 6 dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan.

Substansi aturan ini sama dengan aturan pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri di Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan pada 7 Februari 2020 lalu. Surat Edaran MA tersebut mencantumkan ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut Mahkamah Agung setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.

"AJI menilai peraturan MA ini akan membatasi hak jurnalis dalam mencari informasi, yang itu diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya