Ketimbang Kebiri Pelaku, Pemerintah Diminta Fokus ke Pemulihan Korban

Ilustrasi korban perkosaan.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual yang telah diteken Presiden Joko Widodo, dikritisi oleh Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR).

Viral Dugaan Pelecehan Seksual Mahasiswa Undip, Korban Curhat Malah Dicekoki Miras

Ketimbang hukuman kebiri, pemerintah diminta berkomitmen untuk perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Apalagi anggaran yang disediakan negara untuk korban dinilai minim.

ICJR memaparkan, berdasarkan data, diketahui bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus meningkat. Pada 2015 hanya ada 148 layanan, sementara pada 2019 menjadi 9.308 layanan.

Arab Saudi Beri Hukuman Berat Ini Kepada Pelaku Kekerasan Seksual di Makkah dan Madinah

Namun, anggaran yang diberikan oleh negara kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan. Bahkan disebut menurun cukup signifikan.

"Anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp54,5 miliar. Padahal kebutuhan korban meningkat," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu, Senin, 4 Januari 2020.

Ivan Gunawan Minta Maaf Bercanda Soal Pencabulan, Dibela Deddy Corbuzier

"Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp25 miliar," tambah dia.

Dengan adanya PP Nomor 70 Tahun 2020 ini, negara dianggap seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Padahal, menurut ICJR, para korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.

"Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK, menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara," ujar Erasmus.

Selain anggaran, ia pun menilai hukuman kebiri kimia tersebut adalah aturan yang lebih bersifat populis. Sebab, sampai saat ini Indonesia dinilai belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Padahal diperlukan adanya satu undang-undang baru yang dapat merangkum dan secara komprehensif dan menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

"Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas. Untuk pemerintah, cukup lah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekanisme perlindungan dan pemulihan korban," kata Erasmus. (ase)

Baca juga: Jokowi Resmi Teken PP Hukuman Kebiri untuk Predator Seksual Anak

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya