Guru Honorer Curhat ke Moeldoko: Masa Muda Kami Habis Cari Sampingan

Kepala KSP Moeldoko terima perwakilan guru honorer
Sumber :
  • VIVA.co.id/Eduward Ambarita

VIVA – Kantor Staf Presiden (KSP) memfasilitasi perjuangan guru dan tenaga kependidikan honorer non kategori atau GTKHNK 35+ untuk menjadi menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak P3K. Sebanyak delapan perwakilan menyampaikan keinginan mereka di depan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Puluhan Petugas Linmas Pemilu Meninggal di Jawa Timur, KSP: Perlu Ada Pembatasan Usia

“Akan kami carikan formulanya sehingga ada perubahan, karena kami juga pernah perjuangkan honorer perawat,” ujar Moeldoko di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu 27 Januari 2021.

Salah seorang perwakilan bernama Yudha Aremba, yang merupakan Ketua I GTKHNK 35+. Dia mengaku sebagai guru honorer salah satu sekolah dasar (SD) di Jawa Timur yang sudah mengabdi selama 16 tahun. Namun, upahnya hanya Rp700.000 per bulan.

Kantor Staf Presiden Soroti Perlindungan Hak Anak di Sisa 8 Bulan Kerja

“Sehingga masa muda kami habis untuk mencari kerja sampingan. Ini merupakan bentuk beratnya kami menjalankan kehidupan," ujar Yudha.

Yudha menyampaikan dirinya dan para anggota GTKHNK 35+ lainnya sempat menggelar rapat koordinasi nasional (rakornas) pada Februari 2020. Dalam pertemuan tersebut, disepakati dua tuntutan kepada pemerintah.

Menyusul Mahfud MD, Kini Jaleswari Pramodhawardani yang Mundur dari Deputi KSP

Ia menjelaskan dua tuntutan itu yakni permohonan pengangkatan sebagai ASN melalui Keputusan Presiden dan kenaikan upah untuk guru dan tenaga kependidikan honorer di bawah usia 35 tahun.

“Hasil rakornas tersebut juga akan didukung oleh kajian akademik beberapa profesor dan doktor terkait dengan keadaan kami di lapangan,” lanjut Yudha.

Selain Yudha, curahan hati guru honorer juga datang dari Tinon Wulandari. Sebagai guru honorer di SMK, ia sempat bahagia saat mendengar kabar adanya rekrutmen untuk 1 juta orang melalui seleksi P3K. 

Namun, pada kenyataannya, perempuan dengan sapaan Wulan ini merasa seleksi P3K tersebut tak berpihak pada guru dan tenaga kependidikan honorer. Selain itu, ada anggapan kompetensi guru dan tenaga kependidikan honorer juga diragukan.

"Dalam perjalanannya, seleksi P3K itu untuk umum, tidak memperhitungkan masa bakti. Sehingga bagi kami guru dan tenaga kependidikan honorer usia di atas 35 tahun menjadi berat karena harus bersaing dengan yang lebih muda," tutur Wulan.

Delapan perwakilan GTKHNK 35+ ini hadir dari berbagai provinsi. Di antaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, hingga Sulawesi Utara. Sebagian besar telah menjadi guru dan tenaga kependidikan honorer lebih dari 15 tahun.

Wulan juga memaparkan, dari rencana formasi P3K sebanyak 1 juta orang melalui proses usulan pemerintah daerah, ternyata hanya terealisasi sekitar 467.000 orang. 

Ia menilai masih banyak pemerintah daerah yang tak mau mengusulkan formasi karena terkait penggajian yang masih dilimpahkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Jadi, harapan kami tinggal keppres. Tapi kami kembalikan lagi keputusan itu pada pemerintah (pusat), karena kami yakin pemerintah punya pertimbangan khusus,” kata Wulan.

Baca Juga: Pemerintah Janji Tak Semena-mena Putus Kontrak ASN PPPK

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya