Indeks Persepsi Korupsi Jeblok, Pakar Sarankan Ini ke Pemerintah

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA – Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Ganarsih meminta pemerintah untuk menjadikan angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebagai bahan evaluasi perbaikan. Posisi Indonesia melorot merujuk angka IPK.

Alasan Kejaksaan Agung Izinkan 5 Smelter Timah Tetap Beroperasi Meski Disita

IPK di Indonesia ini berdasarkan rilis Transparency International pada tahun 2020. Dari 40 di tahun sebelumnya menjadi 37 poin. Dengan anjloknya, 3 poin itu, posisi Indonesia dari sebelumnya peringkat 85 menjadi 102 dari 180 negara.

Yenti menyinggung perlunya pengawasan penggunaan anggaran di Kementerian. Pengawasan terutama dilakukan pada kementerian yang alokasi anggarannya besar, mulai dari Kementerian PUPR, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan lainnya.

Heboh Kasus Korupsi Rp3.000 T dari Rafael Alun yang Mengalir ke 25 Artis, Begini Faktanya

"Pemerintah harus memelototi anggaran-anggaran di kementerian," kata Yenti kepada awak media, Minggu, 31 Januari 2021.

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga harus meringkas perizinan. Pasalnya, semakin banyak dan panjang dalam memproses perizinan, maka semakin memperbesar peluang terjadinya suap. 

Iskandar Sitorus Bongkar Ciri-ciri Artis P yang Terlibat Kasus Korupsi Rp4 Triliun

"Praktik-praktik suap untuk memuluskan perizinan tentu sangat mempengaruhi IPK," kata Yenti.

Yenti menambahakan, menjaga iklim dan indeks demokrasi juga tidak kalah penting untuk memperbaiki Indeks Persepi Korupsi di Indonesia. Ia mencontohkan mengenai gelaran pilkada serentak yang kini ramai diperdebatkan antara 2022 atau 2024.

"Hal seperti itu harus diredam, nah jangan diulang jangan dibuat runyam, karena akan mempengaruhi. Kegaduhan politik juga akan berpengaruh," kata Yenti.

Ia menilai turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) bukan karena masalah pemberantasan korupsi. Revisi undang-undang KPK yang dikhawatirkan banyak pihak akan menumpulkan pemberantasan korupsi, tidak terjawab dengan adanya sejumlah operasi tangkap tangan oleh KPK.

"UU KPK kan awalnya menjadi kekhawatiran dengan adanya dewas KPK, tapi itu terjawab dengan adanya penangkapan," ujarnya.

Menurut Yenti, dalam beberapa bulan ke belakang, pemberantasan korupsi sudah terbilang bagus dengan ditangkapnya sejumlah menteri aktif. Hanya saja, menurutnya, pemberantasan korupsi tersebut terjadi setelah bulan Oktober ketika penghitungan indeks persepsi korupsi sudah tutup buku.

"Belakangan KPK bagus, diapresiasi tapi masalahnya setelah akhir Oktober itu penghitungan sudah selesai, jadi penangkapan korupsi yang kemaren kemaren itu masuk ke Indeks persepsi korupsi 2021," ujarnya.

Menurut dia, IPK merupakan opini yang tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Hanya saja menurut Yenti, opini tersebut sangat penting karena akan berpengaruh terhadap investasi di Indonesia.

"Indeks persepsi kan opini jadi harus diubah opini. karena memang kan kesan. Kesannya  belum tentu betul tapi investasi memperhatikan kesan," imbuhnya.

Baca Juga: Pemeriksaan 92 Rekening FPI Rampung, PPATK Serahkan Hasilnya ke Polri

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya