Jawaban PT GGRP soal Warga Sukadanau Mengadu ke Jokowi

Ilustrasi kasus hukum yang disidangkan di pengadilan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – PT Gunung Raja Paksi (GGRP) angkat suara terkait putusan hakim Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut masuk dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang sementara (PKPU-Sementara).

OJK Merespons Rencana Prabowo Hapus Utang Petani dan Nelayan di Perbankan

Putusan yang dianggap tidak adil itu diketahui membuat puluhan warga Sukadanau, Cibitung, Kabupaten Bekasi, berorasi di halte kawasan Istana Negara pada 29 Januari 2021. Mereka merasa terancam kehilangan pekerjaan akibat putusan itu.

Status ini disematkan terhadap GGRP berdasarkan permohonan PKPU yang diajukan oleh salah satu kreditur, yaitu PT Naga Bestindo Utama (NBU). NBU merupakan supplier besi tua Gunung Raja Paksi sejak 2016.

Prabowo Mau Putihkan Utang Petani dan Nelayan, Menteri Maman: Tidak Seluruhnya

Kepada VIVA, Direktur Public Relations PT Gunung Raja Paksi Fedaus mengungkapkan bahwa kasus yang menimpa perusahaannya cukup unik dan membingungkan. Karena putusan ditetapkan tanpa bukti-bukti yang jelas.

Dia menceritakan, awal persoalan itu adalah adanya utang GGRP terhadap NBU sebesar Rp1,9 miliar. Utang itu dia nyatakan siap dibayarkan oleh perusahaan dan telah dilakukan upaya pembayaran sebelum-sebelumnya sesuai jadwal.

Prabowo Ingin Pemutihan Utang Petani hingga Nelayan, Bos BRI: Sudah Ditunggu-tunggu

"Kita telah melakukan pembayaran via bank, tapi enggak bisa masuk ke rekening mereka. Kami coba komunikasi tidak ada jawaban, tiba-tiba kami di-PKPU-kan," katanya, Selasa, 2 Februari 2021.

Karena mendapat panggilan sidang, Fedaus mengaku perusahaan telah mengikuti sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Akhirnya, perusahaan membawa uang tunai saat itu sesuai utang untuk memberi bukti ke hakim.

"Bahkan hakim sendiri percaya bahwa utang Rp1,9 miliar (bisa dipenuhi), sedangkan penjualan GRP sekitar Rp9 trilliun per tahun. Hanya 0,02 persennya," tutur dia.

Namun, pada akhirnya, Fedaus melanjutkan, dengan bukti omzet pada akhir 2020 yang sebesar Rp9 triliun dan utang yang hanya sebesar Rp1,9 miliar, hakim tetap memberikan putusan PKPU terhadap GGRP. Hal ini menurutnya mengganggu iklim investasi.

"Kami bingung Hakim memutuskan tanpa melihat bukti bukti yang jelas selama persidangan. Warga sekitar dan karyawan kami berjumlah 5.600 resah sekali akan PKPU ini," ungkap dia.

Walaupun demikian, Fedaus menjamin operasional perusahaan tidak mengalami gangguan atas kasus itu. Apalagi, perusahaan selama ini tidak pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tetap menggaji karyawan.

Selain itu, perusahaan juga tetap melaksanakan putusan hakim tanpa ada upaya perlawanan hukum. Perusahaan diberi waktu 45 hari oleh pengadilan untuk menyusun rencana pembayaran utang.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya