ICW Sebut Alasan MA Potong Hukuman Eks Bupati Talaud Tak Masuk Akal

Bupati non aktif Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, Sri Wahyumi Maria Manalip mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai alasan  Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman Sri Wahyumi karena barang suap belum diterima, sangat tak masuk akal.

Ketua Komisi II DPR Bantah Ada Arahan Jokowi Soal Penghapusan Pilkada

Mahkamah Agung diketahui memotong vonis Bupati Talaud Sri Wahyumi Manalip dari 4,5 tahun menjadi hanya 2 tahun penjara.

"Terobosan hukum yang dijadikan dalih oleh Mahkamah Agung ketika memperingan hukuman mantan Bupati Talaud dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) sangat janggal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana awak media, Kamis, 10 Juni 2021.

Pengabdian 31 Tahun Hasbi Hasan dan Berprestasi Selama Menjabat jadi Pertimbangan Meringankan Hakim

Kurnia pun menjelaskan tiga poin masalah suap. Pertama, dalam kasus suap barang tidak harus sudah ada di tangan penerima, namun merujuk pada adanya kesepakatan. Hal itu sebagaimana tertuang di Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor.

"Disebutkan bahwa penerimaan uang/barang tidak mesti diterima secara langsung oleh seorang penyelenggara negara, melainkan jika sudah ada kesepakatan sebelumnya tetap dapat diproses hukum," kata Kurnia.

Hasbi Hasan Banding Usai Divonis 6 Tahun Penjara

Kedua, hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana lebih rendah ketimbang pidana penjara minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor.

"Bayangkan, pasal tersebut mengatakan bahwa majelis hakim hanya dibenarkan menjatuhkan vonis diantara rentang waktu 4-20 tahun penjara atau seumur hidup kepada pelaku korupsi. Alih-alih itu dilakukan, MA malah memperingan hukuman menjadi 2 tahun penjara," ujarnya.

Ketiga, ICW juga mempertanyakan kejanggalan vonis Sri Manalip yang jauh lebih rendah dari si perantara suap, yakni Benhur Lalenoh.

"Dalam logika hukum pidana, bagaimana mungkin pelaku dengan level perantara hukumannya lebih berat ketimbang penerima suap yang notabene juga merupakan seorang penyelenggara negara?" Kata Kurnia.

Senada, pihak KPK juga mengaku kecewa dengan putusan PK (peninjauan kembali) Sri Manalip.

"Kami menyayangkan bahwa putusan tersebut lebih rendah dari ancaman minimal yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Ali menuturkan, perbuatan rasuah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa dan bisa memberikan dampak buruk bagi masyarakat, pembangunan, dan perekonomian negara.

"Sehingga harapan kami MA dapat mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dalam memutus suatu perkara korupsi, sekaligus untuk memberikan pembelajaran publik agar jera melakukan korupsi," imbuhnya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya