Bahaya, Kominfo Sebut Medsos Sumber Penyebaran Berita Palsu

Ilustrasi media sosial.
Sumber :
  • U-Report

VIVA - Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto menyatakan bahwa masyakarat Indonesia merupakan pengguna internet yang sangat besar, mencapai 89 persen dari jumlah penduduk. Namun, di tengah gelombang pengguna aktif internet, terselip persoalan negatif lewat media sosial.

Keluarga Lettu Agam Buka Suara soal Isu Perselingkuhan yang Viral di Medsos

Dia menuturkan media sosial membentuk kebenaran semu (false truth) lewat kegaduhan dan merupakan mesin politik yang merongrong demokrasi. Di tengah pandemi COVID-19, media sosial berperan sebagai infodemik berupa penyebaran berita-berita palsu seputar wabah corona, dan menjadi sumber disinformasi.

"Kenapa masyarakat percaya hoaks, karena kecenderungan click bait membaca dan menyimpulkan secara cepat," kata Henry dalam kegiatan dialog publik Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo berjudul “Cerdas Membangun Konten, Melawan Hoaks di Tengah Pandemi”, Rabu, 16 Juni 2021.

Viral! Penampakan Buaya di Kecamatan Medan Labuhan, Ini Kata Camat

Kemudian, lanjut dia, confirmatory bias, mudah percaya informasi yang mirip prasangkanya. Menurutnya, masyarakat juga suka percaya disinformasi yang berasal dari teman sekelompok yang memiliki nilai, sikap dan kepercayaan yang sama.

Baca juga: Bertemu Kabareskrim, Ustaz Adi Hidayat Curhat Difitnah Pegiat Medsos

Apes, Pelaku Curanmor di Medan Ditangkap Polisi Karena Ketahuan Jual Motor Curian di Medsos

Henry mengatakan masyarakat juga cenderung tidak kritis terhadap informasi dan kredibilitas berita yang mudah membangkitkan emosional kolektif. Masyarakat juga mudah percaya terhadap informasi berulang atau sama yang datang dari berbagai sumber, apalagi jika ada tokoh yang membenarkan berita hoaks tertentu.

"Atas dasar itu semua, kita jangan terlalu percaya dengan isi medsos, karena banyak diwarnai permainan dan rekayasa," ujar Henry.

Henry mengemukakan berdasarkan hasil penelitian Oxford University, ada manipulasi-manipulasi disinformasi secara global, termasuk di Indonesia, lewat buzzer atau cyber army. Menurutnya, buzzer atau cyber army di Indonesia dimiliki oleh pihak-pihak tertentu seperti sektor swasta maupun partai politik, bukan milik pemerintah.

“Kita tentu percaya dengan kredibilitas Oxford University. Memang banyak negara-negara yang menggunakan buzzer atau cyber army. Di Indonesia, buzzer yang ada itu milik parpol dan swasta, sementara pemerintah tidak punya buzzer,” tegas Henry.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nasir menjelaskan dalam setiap interaksi sosial peranan media massa dan medsos sebagai wujud interaksi sosial kebangsaan harus memberikan solusi terhadap setiap permasalahan bangsa.

Media massa dan media sosial secara ideal seharusnya memiliki peranan penting untuk membangun sikap cerdas, berilmu dan bertanggung jawab agar kehidupan kebangsaan kita semakin baik, bersatu dan menuju pada kemajuan.

“Dalam menghadapi pandemi ini kita saling meringankan, jangan saling memberatkan. Ada berita-berita hoaks, postingan-postingan, ceramah, video yang justru bukan membuat cerdas tetapi menumpulkan kecerdasan bahkan membuat kita tidak positif dalam menghadapi pandemi, seperti berita tentang konspirasi, tentang hal-hal yang menganggap virus ini buatan,” ujar Haedar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya