KSP: Kenakan Pakaian Baduy, Jokowi Hapus Stigma Negatif

Presiden Jokowi menghadiri sidang tahunan MPR RI pada HUT RI ke 76
Sumber :
  • YouTube Sekretariat Presiden

VIVA – Presiden Joko Widodo dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2021, mengenakan pakaian adat Suku Baduy. Suku yang tinggal di kawasan Lebak Banten.

Tony Blair Ucapkan Selamat ke Prabowo Usai Menang Pilpres: Fantastis!

Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia, Abetnego Tarigan menjelaskan, ini sebagai langkah Presiden Jokowi dalam menghargai Suku Baduy. Karena pakaian adat mereka dikenakan dalam pidato kenegaraan.

Menurut dia, bukan sekedar mengangkat nilai-nilai budaya Suku Baduy. Tetapi juga menangkal stigma negatif terhadap Suku Baduy tersebut.

Pergerakan Pemudik Lebaran 2024 Capai 242 Juta Orang, Menhub Budi Beberkan Catatan dari Jokowi

“Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan suku Baduy,” kata Abetnego Tarigan, dalam keterangan persnya, Senin 16 Agustus 2021.

Lebih lanjut dia mengatakan, KSP menilai penggunaan pakaian Suku Baduy ini telah mengangkat kebudayaan suku tersebut. Juga menjadi inisiatif yang baik dalam menekankan mengenai kebhinekaan di dalam NKRI.

Survei LSI: Tingkat Kepuasan Publik pada Jokowi Naik 76,2 Persen


Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat Suku Baduy berwarna hitam dengan lencana merah putih. Juga mengenakan udeng kepala berwarna biru, alas kaki sandal berwarna hitam, juga dengan tas rajut berwarna coklat. 

Pakaian adat ini disiapkan secara pribadi oleh Tetua Adat Masyarakat Baduy sekaligus Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. Presiden Jokowi pun mengatakan bahwa desain pakaian adat Baduy sangat sederhana dan sangat nyaman untuk dikenakan. 

Sebutan "Baduy" sendiri merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten.

Namun penyebutan Suku Baduy cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Para kolonial secara gegabah mengidentifikasi suku Baduy layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup secara nomaden dan dianggap liar. 

Walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, namun dalam perkembangannya, istilah Baduy kini tidak lagi bersifat peyoratif karena penyebutannya oleh banyak orang tanpa ada niatan untuk merendahkan.

“Istilah Baduy dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tapi saya pun kadang pakai istilah 'Baduy' karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” Ungkap Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya