Polri: Kasus M Kece Tak Akan Gunakan Restorative Justice

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Ahmad Farhan Faris

VIVA – Kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Muhamad Kosman alias M Kece (MK) tidak akan diselesaikan dengan restorative justice. Hal itu diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono.

Komjen Fadil Imran Sebut Polri Sudah Susun Rencana Pengamanan terkait Sengketa Pemilu 2024

Menurut dia, kasus yang dilakukan M Kece ini menimbulkan kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa. Sehingga, Polri berkomitmen untuk menindak siapa saja yang mengganggu kebhinekaan maupun situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

“Polri berkomitmen apabila ada tindakan-tindakan yang memang telah ganggu kebhinekaan, situasi kamtibmas, memecah belah bangsa. Polri akan tegas terhadap perilaku-perilaku ini, termasuk apa yang dilakukan tersangka MK,” kata Rusdi di Mabes Polri pada Kamis, 26 Agustus 2021.

Hampir 5 Ribu Aparat Gabungan Bakal Amankan Pengumuman Hasil Pemilu

Baca juga: Guru Ditegaskan Wajib Vaksin Sebelum Mengajar Tatap Muka di Jaksel

Sebelumnya diberitakan, Youtuber Muhamad Kece ditangkap penyidik Bareskrim Polri di tempat persembunyian daerah Banjar Untal-untal, Desa Dulang, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali pada pukul 19.30 WITA. Kini, Kece menyandang sebagai tersangka

Jelang Pengumuman Hasil Rekapitulasi Pemilu 2024 Polri Jelaskan Situasi Keamanannya

“Beberapa hari lalu telah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan. Berikutnya, yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri pada Rabu, 25 Agustus 2021.

Atas perbuatannya, kata Rusdi, tersangka Muhamad Kece dijerat Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45a Ayat (2) Undang-Undang ITE dengan ancaman 6 tahun penjara. Selain itu, tersangka juga dijerat Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

Diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pernah mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif. Surat Edaran tersebut bernomor: SE/2/II/2021, tertanggal 19 Februari 2021.

Pertimbangannya perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi publik melalui ruang digital.

“Diharapkan, kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata Sigit.

Dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaksud, kata dia, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Maka dari itu, Sigit mengingatkan seluruh penyidik Polri untuk memahami pedoman seperti mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.

Dalam menerima laporan dari masyarakat, Sigit mengatakan penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.

"Sejak penerimaan laporan agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan), dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi," jelas dia.

Di samping itu, Sigit mengatakan terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.

"Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan, dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," katanya.

Lalu, penyidik dalam melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

"Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara," kata mantan Kepala Bareskrim ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya