Dewan Pers Temukan Banyak Produk Jurnalistik yang Dibawa ke Pidana

Aksi Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis (ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Novrian Arbi

VIVA – Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers, Ahmad Jauhar mengatakan, masih terdapat persoalan di lapangan jika produk jurnalistik tidak diselesaikan ke Dewan Pres, malahan menempuh jalur hukum dalam mengatasi persoalan tersebut.

Galih Loss sudah Minta Maaf soal Video 'Serigala', Polisi beri Jawaban Menohok

“Juga ada soal terkait penanganan beberapa perkara pers, menggunakan jalur hukum pidana, padahal mestinya melalui mekanisme di Dewan Pers sesuai Undang Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujar Ahmad Jauhar dalam acara  “Peluncuran Hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers 2021” virtual di Jakarta, Rabu, 1 September 2021.

Ia mengatakan, sejak tahun 2016 Dewan Pers melakukan survei untuk menyusun indeks kemerdekaan pers (IKP), dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan kondisi kemerdekaan pers di Indonesia. Survei IKP pada tahun 2021 dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kemerdekaan pers di Indonesia selama tahun 2020.

Dugaan Korupsi Rp 8 Miliar, Kejari Medan Tahan Eks Dirut RSUP Adam Malik

Terpilih selaku pelaksana teknis survei pada tahun 2021 yaitu PT Sucofindo. Mengutip hasil survei, Ahmad Jauhar menyatakan, selain ketergantungan yang cukup tinggi perusahaan pers pada pemasukan dari iklan pemerintah daerah, juga ada masalah kekerasan terhadap wartawan yang masih terjadi di beberapa daerah.

Peneliti dari PT Sucofindo, Ratih Siti Aminah menyampaikan bahwa nilai Indeks Kebebasan Pres 2021 mencapai angka 76,02, artinya bahwa kehidupan pers selama tahun 2020 termasuk “cukup bebas”.

Fakta, Produk Tembakau yang Dipanaskan Minim Digunakan Remaja di Negara-Negara Maju

Rentang nilai yang masuk kategori “cukup bebas” adalah 70-89. Sedangkan nilai 90-100 merupakan kategori “bebas”. Selanjutnya berturut-turut kategori “agak bebas” yaitu 56-69; “kurang bebas” (31-55) dan tidak bebas (1- 30).

"Dibanding nilai hasil survei IKP 2020 yang mencapai 75,27, nilai IKP 2021 naik sangat tipis yaitu 0,75," ujar Ratih.

Dengan demikian, kata dia,  bisa dikatakan bahwa secara umum kondisi kemerdekaan pers selama tahun 2020 – yaitu kondisi yang diamati dalam survei tahun 2021 – tidak mengalami perubahan signfikan dibanding tahun sebelumnya.

Namun,dilihat nilai per indikatornya terjadi pergerakan cukup dinamis. Pada kondisi lingkungan fisik dan politik, indikator Kebebasan Berserikat bagi Wartawan memiliki peringkat tinggi pada survei IKP 2019 – 2021.

Selama tiga tahun berturut-turut (2019 – 2021) indikator bebebasan berserikat bagi wartawan selalu menempati peringkat pertama, yang mengindikasikan bahwa tidak banyak ditemukan adanya intervensi perusahaan pers terhadap wartawan untuk mengikuti organisasi wartawan maupun serikat pekerja di daerah.

Kebebasan media alternatif yang menempati urutan ke 2 tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup bebas untuk menciptakan media alternatif dengan kegiatan jurnalisme warga hampir di seluruh wilayah Indonesia.

"Merebaknya media alternatif beriringan dengan penetrasi teknologi informasi secara nasional, akses internet yang berkembang hampir merata, telah membuka kran informasi lebih luas, termasuk bagi kelompok rentan," katanya.

Namun, terkait isi informasi yang dihasilkan oleh jurnalisme masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Pada kondisi Lingkungan Fisik dan Politik terdapat dua indikator, yaitu akurat dan berimbang dan kesetaraan akses bagi kelompok rentan yang masih memiliki permasalahan.

Permasalahan pada indikator kesetaraan akses bagi kelompok rentan terutama terkait dengan belum terlaksananya media massa daerah dalam menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, misalnya, bagi penyandang tunarungu dan tunanetra.

Pada Lingkungan Ekonomi, rendahnya nilai indikator Independensi dari kelompok kepentingan yang kuat terutama disebabkan oleh subindikator yang terkait dengan ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan dari pemerintah, partai politik, kekuatan politik lain, maupun perusahaan besar.

"Hal ini semakin nyata karena melemahnya situasi ekonomi pada situasi pandemi COVID-19 yang menyusutkan jumlah pendapatan dari iklan-iklan komersial. Sehingga ketergantungan perusahaan pers pada sumber pendanaan, terutama dari pemerintah semakin besar," katanya.

Ketergantungan yang besar ini memengaruhi independensi ruang redaksi dan kualitas pengelolaan perusahaan pers. Pada lingkungan ekonomi masih terdapat satu lagi indikator yang memiliki persoalan, yaitu tata kelola perusahaan yang baik. Pada indikator ini, persoalan yang paling banyak dibahas adalah kesejahteraan wartawan.

Banyak wartawan di daerah yang tidak mendapat gaji ke-13 atau tunjangan hari raya (THR) setara upah minimum provinsi (UMP) dalam satu tahun, beserta jaminan sosial lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers.

"Hal ini menyebabkan ketergantungan media pada dana pemerintah daerah, maraknya praktik amplop, dan penerimaan bantuan dari pihak lain yang dapat tengganggu independensi wartawan," paparnya.

Pada kondisi Lingkungan Hukum, terdapat dua indikator dengan nilai yang rendah, yaitu Etika Persdan Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas. Menurutnya, persoalan etika pers banyak terkait dengan praktik wartawan menerima amplop meski ada yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak memengaruhi independensi kerja wartawan.

Persoalan lainnya yang masih sering muncul adalah pemberitaan yang tidak sesuai etika jurnalistik, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, mengabaikan akurasi, dan sensasional.

Sementara itu, hasil IKP tahun 2017-2020 menunjukkan adanya satu indikator, yaitu Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas yang secara konsisten berada pada nilai paling rendah.

Memang, nilai pada indikator sempat mengalami kenaikan. Pada IKP 2017, indikator ini mendapat nilai 34,22, IKP 2018 mendapat nilai 43,92, IKP 2019 mendapat nilai 56,77, dan pada IKP 2020 mendapat nilai 63,56. Namun pada IKP 2021 mendapat nilai 60,66.

Artinya, nilai Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas ini masih tetap berada dalam kategori “Sedang” atau pada kondisi kebebasan pers “Agak Bebas”. Penilaian ini sesuai dengan fakta bahwa di 34 provinsi yang disurvei, belum ada peraturan yang mendorong media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang disabilitas, seperti penderita tunarungu dan tunanetra.

Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, persoalan indikator perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas tak pernah tuntas diatasi. Pemerintah daerah dari tahun ke tahun belum memprioritaskan pada persoalan ini. Di sisi lain, perusahaan pers umumnya juga beum memprioritaskan upaya untuk melayani kepentingan para penyangdang disabilitas ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya