Gonjang-Ganjing KPK, Beda Jokowi Lain SBY

Gedung Merah Putih KPK
Sumber :
  • VIVA/Andry Daud

VIVA – Polemik Tes Wawasan Kebangsaan atau TWK bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini masih terus terus bergulir. Tes ini menjadi syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara atau ASN, sesuai amanat UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Gonjang ganjing di KPK, sebenarnya juga kerap kali muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Momen Akrab Prabowo dan Jokowi di Acara Bukber di Istana Negara

Pada 2009, di era Presiden SBY, muncul kasus yang dikenal dengan Cicak vs Buaya. Baik itu jilid I dan II. Pada Cicak vs Buaya jilid I, terjadi gesekan antara KPK dengan Polri ketika komisi antirasuah tersebut menyadap Kabareskrim Polri saat itu Komjen Pol Susno Duadji. Muncul dugaan ada keterlibatan Susno dalam kasus Bank Century yang diusut KPK.

Konflik semakin memanas. Puncaknya, dua orang Wakil Ketua KPK yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, ditahan Bareskrim Mabes Polri. Reaksi muncul, tidak hanya dari aktivis antikorupsi tetapi juga masyarakat umum, sehingga menguatkan dukungan publik terhadap KPK.

Rampung Juni 2024, Menteri ESDM: Divestasi Saham Freeport Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak

Presiden SBY akhirnya turun tangan, karena penahanan Bibit dan Chandra memantik reaksi keras publik. Mendesak dirinya juga agar turun tangan menyelamatkan KPK. Hingga pada 23 November 2009, Presiden SBY menyampaikan instruksinya.

"Oleh karena itu, solusi dan opsi lain yang lebih baik, yang dapat ditempuh adalah pihak kepolisian dan kejaksaan tidak membawa kasus ini ke pengadilan dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun perlu segera dilakukan tindakan-tindakan korektif dan perbaikan terhadap ketiga lembaga penting itu yaitu Polri, Kejaksaan Agung dan KPK," kata SBY. Tak lama, kasus yang dituduhkan ke Bibit dan Chandra di deponering (mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang lebih luas). Keduanya dibebaskan.

Pernah Dampingi Gibran ke Papua, Bahlil Bantah Tudingan Tak Netral

Masih di pemerintahan Presiden SBY. Konflik KPK dengan Polri kembali muncul. Ketika komisi antirasuah itu menangani dugaan korupsi Simulator SIM yang menjerat Kepala Korlantas saat itu Irjen Djoko Susilo. Bahkan ketegangan memuncak, setelah penyidik menggeledah kantor Korlantas. Disusul kabar pengepungan gedung KPK oleh anggota Brimob Polri pada Jumat 5 Oktober 2012. Mereka ingin membawa penyidik Novel Baswedan, terkait kasus penganiayaan saat dia masih bertugas di kepolisian di Riau.

Persoalan ini kemudian membuat Presiden SBY kembali mencari solusi. Hingga akhirnya SBY saat itu meminta agar kasus Simulator SIM cukup ditangani KPK. 

"Solusi penanganan kasus Irjen Djoko Susilo dan sejumlah pejabat ditangani satu lembaga saja di KPK. Karena jika dalam penyidikan cukup bukti, maka sejumlah pejabat ini akan dituntut bersama-sama. Sesuai UU 30 tahun 2002 pasal 50 tentang KPK," kata SBY, 8 Oktober 2012.

Pada Oktober 2014, pemerintahan berganti, dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo yang saat itu bersanding dengan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden periode 2014-2019. Pemerintahan boleh berganti, tetapi persoalan di KPK tidak pernah berhenti. Cicak vs Buaya jilid III kembali terjadi pada 2015.

Menghadirkan lagi konflik KPK dan Polri. Bermula ketika Presiden Jokowi menyerahkan nama calon tunggal Kapolri ke DPR, atas nama Komjen Budi Gunawan (BG). Sehari sebelum fit and proper test di Komisi III DPR, KPK membuat kejutan dengan menetapkan tersangka terhadap Komjen BG. 

Riak-riak perseteruan KPK dengan Polri mulai terlihat. Hingga akhirnya Bareskrim Polri saat itu menetapkan tersangka terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) dalam kasus dugaan mengerahkan saksi memberi keterangan palsu di MK. Bahkan BW saat itu ditangkap dan dijemput dari rumahnya pagi-pagi, yang kabarnya saat mengantarkan anaknya sekolah.

Konflik KPK dan Polri terus memanas. Di satu sisi Komjen Budi Gunawan langkahnya sangat mulus di DPR untuk menjadi Kapolri. Sementara Polri juga mengusut kasus pimpinan KPK seperti BW. Desakan agar Presiden Jokowi turun tangan, kembali mencuat. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi?

Saat itu Jokowi memanggil Ketua KPK dan Wakapolri, beberapa jam setelah penangkapan terhadap Bambang Widjojanto di kediamannya. Jokowi meminta tidak ada gesekan antara KPK dan Polri.

"Saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan Undang-undang," kata Jokowi, yang saat itu menyampaikan instruksinya di Istana Bogor, 23 Januari 2015. Sabtu dinihari, 24 Januari itu Bambang Widjojanto dibebaskan.

Persoalan di KPK terus terjadi terutama akhir periode pertama Presiden Jokowi. Tapi kali ini bukan dengan institusi Polri. Namun penolakan KPK dan unsur mahasiswa serta aktivis antikorupsi, terkait keputusan pemerintah merevisi UU KPK. Aksi demonstrasi tak terbendung, hingga sempat menimbulkan kerusuhan antara demonstran dengan aparat. Revisi jalan terus setelah diajukan oleh pemerintah. KPK menganggap revisi sebagai pelemahan, tapi bagi DPR dan pemerintah tidak. Hingga akhirnya UU KPK hasil revisi disahkan, menjadi UU Nomor 19 tahun 2019.

Gonjang ganjing di KPK ternyata terus berlanjut pasca UU KPK yang baru. Para pegawai harus menjadi ASN, hingga dilakukan tes. Persoalan muncul, setelah hasil tes terutama mengenai wawasan kebangsaan, dinilai janggal. Hingga kemudian ada 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus. Otomatis tidak bisa meneruskan pengabdiannya di KPK.

Hasil itu menjadi polemik, setelah yang tidak lulus justru adalah para penyidik yang dianggap berprestasi. Sebut saja Novel Baswedan, Yudi Purnomo hingga penyidik senior Damanik. Mereka adalah sedikit diantara penyidik yang menangani dan membongkar kasus-kasus korupsi besar.

Menyikapi itu, Presiden Jokowi sempat menyampaikan pernyataan. Yang memberi angin sejuk bagi para penyidik yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Pada 10 Mei 2021, Presiden Jokowi sempat menyampaikan bahwa TWK jangan dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK tersebut.

Sikap itu keluar setelah Ketua KPK Firli Bahuri mengeluarkan SK Nomor 652 tahun 2021 sebagai landasan membebastugaskan 75 pegawai yang tak lolos TWK. TWK menurut Kepala Negara, harusnya menjadi bagian dalam perbaikan institusi.

"Dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," kata Jokowi.

Persoalan TWK bergulir ke ranah hukum. MK dan MA memperkuat putusan KPK sehingga pembebastugasan pegawai bisa terus berlanjut. Ada 56 pegawai dari 75 itu, yang pembabastugasan akan efektif 30 September 2021.

Tapi kali ini Presiden Jokowi menyampaikan sikap yang berbeda saat awal-awal TWK menjadi polemik. Bahkan Jokowi menegaskan, semua persoalan tidak harus dibawa ke dirinya. Apalagi alih status pegawai dilakukan oleh Kemenpan RB.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," kata Jokowi.

Seyogyanya, Presiden Jokowi bersikap lebih jauh, turun gunung menyikapi polemikTWK KPK secara utuh. Apalagi sudah ada rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman RI yang menyatakan, terjadi maladministrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK. Bukankah keduanya juga lembaga negara yang harus dihormati?

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya