Gus Yahya: NU Bukan Batu Loncatan Nyapres

Gus Yahya Cholil Staquf
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – KH Yahya Cholil Staquf, memantapkan hati untuk maju sebagai calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 pada Muktamar ke-34 di Lampung, bulan Desember mendatang. Ia digadang-gadang akan bersaing dengan incumbent, KH Said Aqil Siradj untuk memimpin kendali PBNU. 

Gus Ipul Sarankan PKB Sowan ke Rais Aam dan Ketum PBNU: Minta Nasihat Gitu

Pria yang akrab disapa Gus Yahya ini maju di pencalonan orang nomor satu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan segudang gagasan dan harapan. Lahir dan besar di lingkungan NU membuat pria kelahiran 16 Februari 1966 ini fasih tentang organisasi NU dan perkembangannya.

Kiai asal Rembang ini dua periode menjabat Katib Aam Syuriah PBNU, pernah menjabat Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di periode pertama pemerintahan Jokowi-JK, Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan menjadi delegasi dalam sejumlah pertemuan tokoh agama Internasional. 
 
Gus Yahya merupakan kakak dari Menteri Agama saat ini, Yaqut Cholil Qaumas, mengenyam pendidikan formal di pesantren. Ia pernah nyantri di Pesantren Al-Munawwir Krapyak di Yogyakarta dibawah asuhan KH Ali Maksum. Gus Yahya melanjutkan jenjang perguruan tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.

Pendeta Gilbert Dilaporkan Dugaan Penistaan Agama, Gus Yahya: PBNU Enggak Ikut Campur

VIVA berkesempatan mewawancarai Gus Yahya seputar pencalonannya sebagai Ketua Umum PBNU di rumah kontrakannya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 4 November 2021. Apa saja gagasan Gus Yahya untuk NU kedepan, kritiknya terhadap kepengurusan Said Aqil hingga klarifikasi soal kontroversi kunjungannya ke Israel bisa disimak dalam wawancara berikut ini:

Apa motivasi Anda ingin maju sebagai calon Ketua Umum PBNU di Muktamar NU
Lampung? 

Beredar Foto Sempat Bertemu PM Israel Netanyahu, Gus Yahya: Pertemuan Diplomatik

Saya masuk dalam jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sudah 10 tahun, sudah dua periode. Tapi sebetulnya keterlibatan saya dengan NU sudah lama sekali, saya sudah ikut terlibat dalam muktamar walaupun hanya sebagai penonton, tapi ikut di arena muktamar itu sejak tahun 79, itu saya masih kelas 1 SMP, itu Muktamar ke-29 di Semarang. Jadi seumur hidup NU itu jadi bagian hidup saya, tidak pernah terlepas dalam pergulatan pemikiran dan pergulatan mental saya selama ini.  

Saya melihat saat ini NU menghadapi tantangan baik secara domestik dan internasional. Nah, untuk menghadapi tantangan itu ada beberapa hal yang harus dilakukan NU tidak bisa ditunda-tunda, yang intinya dengan konsolidasi organisasi yang komprehensif. 

Saya punya gagasan-gagasan pemikiran tentang itu, dan saya dulu pernah melakukan strategi untuk melakukan konsolidasi di organisasi Gerakan Pemuda Ansor sejak 2011 lalu dan berhasil. Ansor berhasil kita transformasikan sebagai organisasi yang koheren dan solid. 

Nah, sekarang saya kira waktunya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi, ada komunitas, ada jam'iyyah-nya harus segera dilakukan konsolidasi dengan baik karena tantangan ke depan luar biasa berat. 

Maka saya menawarkan gagasan ini, dan menawarkan diri saya untuk mengeksekusinya. Ini yang selalu saya sampaikan kepada para kiai, para pengurus NU di berbagai tingkatan, bahwa ini bukan soal saya ingin menjadi tokoh, pimpinan atau apa, ini soal saya melihat ada pekerjaan yang harus dilakukan dan saya tahu bagaimana mengerjakannya, saya sudah pernah melakukan pekerjaan semacam itu dan berhasil, dan saya menawarkan diri untuk melakukannya kepada NU. 

Memangnya NU sekarang belum konsolidasi?

Realitas NU sekarang ini bahwa hubungan antara berbagai tingkatan kepengurusan dalam NU ini masih belum rapi dan belum ada logika koordinasi yang baik. Sekarang ini pengurus di tingkat cabang-kabupaten masing-masing punya kegiatan tapi masing-maisng tidak saling mengetahui apa yang dilakukan. Begitu juga dari tingkat cabang ke tingkat wilayah, provinsi, tingkat provinsi tidak tahu apa yang dilakukan cabang, PBNU juga begitu. 

Sehingga ini menjadikan gerak NU ini menjadi tidak bisa tampak sebagai strategi yang sama. Setiap elemen organisasi melakukan sendiri-sendiri apa yang bisa mereka lakukan dan banyak diantara mereka yang tidak melakukan apa-apa karena kekurangan resources dan leverage untuk melakukan kegiatan. Sekarang waktunya kita harus menata itu. 

Kalau tantangan eksternal NU apa saja?

Tantangan eksternalnya untuk domestik, Indonesia, kita melihat kedepan ini ada ancaman polarisasi atas dasar identitas karena dinamika politik, seperti yang pernah kita alami pada waktu lalu dalam pilpres terakhir, bahwa polarisasi politik identitas yang luar biasa.

Nah, kemarin itu Nahdlatul Ulama tidak bisa menjadi aktor yang mampu menjembatani polarisasi itu, karena sebagai pihak, sebagai kontestan di dalam persaingan politik itu. Padahal kalau polarisasi identitas ini dibiarkan terus berlanjut ini berbahaya sekali bagi keutuhan bangsa. Makanya Nadlatul Ulama ini harus kita kembalikan fungsinya sebagai penyangga keutuhan bangsa ini. Itu diperlukan dua hal. 

Pertama, positioning harus diubah. NU tidak boleh jadi pihak yang berkompetisi tapi selalu berada pada posisi yang bisa menengahi apapun yang menjadi sengketa kehidupan bangsa ini. Kedua, NU harus mampu hadir sebagai kekuatan transformatif dan sebetulnya ada kekuatan itu. NU ini punya 521 cabang di seluruh Indonesia di setiap kabupaten ada pengurusnya. Bahkan ada kabupaten yang sampai memiliki lebih dari satu pengurus cabang karena luas wilayah dan jumlah penduduknya besar. 

Nah, 521 cabang ini, kalau kita berfikir dari sudut pandang bisnis misalnya, ini bisa berarti 521 outlet di seluruh Indonesia, kalau kita bisa membangun suatu agenda nasional yang kita jabarkan dan eksekusi di tingkat cabang, di tingkat kabupaten yang langsung engage, langsung bersinggungan dengan masyarakat basis, ini akan menjadi strategi kekuatan transformatif yang besar sekali, apalagi di tengah keadaan butuh bangkit bangsa ini, di tengah-tengah tantangan pasca pandemi harus ada kekuatan yang besar, merata, bergerak bersama-sama supaya masyarakat bisa dipicu kekuatannya secara bersama-sama.

Secara internasional, banyak masalah global yang menjadi kemelut dan tak kunjung selesai, bukan hanya di dunia Islam saja atau timur tengah, tapi barat mengalami kemelut luar biasa. Dalam sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir ini sudah banyak pihak-pihak internasional yang mengakui dan mengharapkan peran NU. Anda googling saja, baca berita-berita internaional itu sudah banyak berita tokoh-tokoh internasional yang berharap peran NU. Bahkan belum lama ini, pihak dari Inggris ada inisiatif membentuk komisi Indo-Pasific yang anggotanya 16 orang, semuanya dari kalangan diplomat dan politisi senior, tapi salah satu anggotanya dari Indonesia itu dari ormas NU yaitu saya. Ini menunjukkan ada harapan NU ikut serta dalam pergualatan ini memberikan konstribusi dan jalan keluar. Ini tantangan besar yang harus dijawab dengan perbaikan kinerja dan konsolidasi, agar NU bisa memenuhi tantangan itu.  

Kabarnya Anda sudah didukung PCNU se-Jatim, ini klaim saja atau memang benar adanya?

Yang saya tahu, saya beberapa waktu yang lalu saya diundang datang ke Surabaya dan disana sudah berkumpul pengurus wilayah NU Jawa Timur bersama seluruh pengurus cabang se-Jawa Timur, ada 44 cabang semuanya berkumpul. Kemudian pengurus wilayah NU Jawa Timur itu mengumumkan surat keputusan dari hasil rapat dari pengurus wilayah yang isinya mendukung dan mengusulkan saya, menyebut nama saya disitu, menjadi Ketua Umum PBNU PBNU 2021-2026. 

Rais Aam Miftachul Akhyar (kedua dari kanan) dan Katib Aam Yahya Cholil Staquf (paling kiri) Pengurus Besar NU bersilaturahmi dengan kiai sepuh di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Senin, 20 September 2021.

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

Kemudian, surat keputusan itu ada upacara sedikit untuk menyerahkan keputusan itu kepada saya dan kepada perwakilan dari pengurus pengurus cabang, yang artinya pengurus cabang ini katakanlah 'diperintah' oleh pengurus wilayah untuk ikut mendukung. Karena ini menurut pengurus wilayah asal-usul dari SK itu adalah dari pengurus-pengurus cabang ini datang sendiri-sendiri minta izin ke pengurus wilayah meminta izin untuk mengusung saya sebagai calon ketua umum. Itu yang saya tahu. 

Artinya yah saya bisa menafsirkan bahwa ini Jawa Timur ini memang utuh dukungannya kepada saya, karena bukan hanya pengurus wilayah tapi 45 pengurus cabang hadir di tempat itu mendukung saya.

Apakah dukungan NU Jatim ini Anda semakin pede untuk maju sebagai Ketum PBNU?

Saya katakan pada semuanya, para kiai, pengurus dan jajaran NU, saya ini mau melamar pekerjaan. Karena saya tahu apa pekerjaannya, saya tahu saya bisa lakukan pekerjaan itu, saya tawarkan caranya. Jadi buat saya ini bukan pede atau tidak pede untuk terpilih, tapi satu hal yang sangat membesarkan hati saya bahwa kemudian para pengurus wilayah dan pengurus cabang ini melihat jabatan Ketua Umum PBNU itu sebagai jabatan mengenai pekerjaan bukan mengenai ketokohan atau mengenai kedudukan politik, tapi pekerjaan.

Ketika saya bicara ini mereka menyambut dengan antusias, mereka menangkap dengan cepat sekali sehingga akselerasi dukungan juga secara mengejutkan berkembang cepat sekali, karena kita bicara pekerjaan, ini ada pekerjaan, saya tahu bagaimana cara melakukannya, saya mampu, saya tawarkan diri. Kalau mereka nanti memilih saya sebagai ketua umum itu berarti, saya sampaikan sejak awal, itu berarti pengurus cabang dan pengurus wilayah ini akan ketambahan pekerjaan, kerjaan mereka akan bertambah. 

Saya kira ini transformatif sekali, cara berfikir baru bahwa jabatan di NU tidak boleh hanya menjadi batu loncatan ke tempat lain. misalnya menjadi calon presiden atau wakil presiden, tapi soal mengerjakan pekerjaan yang memang seharusnya dikerjakan. 

Wilayah lain yang sudah menyatakan dukungan ke Anda dimana saja?

Jawa Tengah saya sudah bertemu dan ada kesepakatan secara utuh. Yogjakarta juga sudah. Kemudian saya juga sudah bertemu dengan Sulawesi Selatan,  bertemu dengan Maluku Utara dan seluruh Sulawesi sudah menyatakan dukungannya, begitu juga Kalimantan, Bali, NTT, NTB sudah menyatakan sikapnya. Begitu juga Sumatera Selatan, Sumatera Selatan malah paling dulu. 

Saya kira sudah sebagian besar, tempo hari saya katakan sebenarnya sudah 80 persen sudah menyatakan sikap untuk mendukung.

Anda mantan Juru Bicara Gus Dur, apakah keluarga besar Gus Dur sudah tahu soal pencalonan ini? Bagaimana dukungannya? 

Saya itu sejak kecil lahir di lingkungan NU, dan NU sudah menjadi bagian dari identitas saya, nah sebagian besar dari perjalanan saya dalam bergulat dengan NU, saya alami dibawah bimbingan, dibawah pendidikan dari Gus Dur. Saya kenal Gus Dur sejak 1987 dan sejak awal beliau katakanlah menguji saya, kemudian melepaskan saya pada arena, lalu menguji saya, jadi wawasan saya tentang NU boleh dikata hampir sepenuhnya yang diajarkan Gus Dur kepada saya, dan apa yang saya lakukan ini semuanya motivasinya mengikuti jejak Gus Dur.

Saya sudah melakukan komunikasi pribadi dengan keluarga Gus Dur. Saya kira keluarga tidak ada masalah dengan saya. Kemudian teman-teman yang selama ini yang menjadi konstituen dari kepemimpinan Gus Dur itu hampir seluruh generasi saya itu juga sudah melakukan konsolidasi dan mereka bergerak bersama pada jalur pergulatan ini.  

Secara pribadi sudah menyampaikan kepada saya bahwa beliau-beliau mendukung saya, baik dari Ibu Sinta maupun putri-putrinya. Saya juga ada komunikasi pribadi dengan keluarga Tebuireng dan semua menyambut baik. Artinya tidak ada menentang atau menolak, tidak ada.  

Bagaimana dengan Gus Mus (KH Mustofa Bisri -- mantan Rais Aam PBNU), apakah Anda sudah ada komunikasi?

Ayah saya sudah wafat, dan sekarang paman saya KH Mustofa Bisri yang menggantikan ayah saya. Saya tidak pernah melakukan keputusan apapun, atau melakukan apapun tanpa izin, perintah Beliau. 

Saya bahkan menerima ini (pencalonan Ketum PBNU) sebagai perintah.

Bagaimana Anda menilai NU sekarang di bawah kepemimpinan KH Said Aqil Siradj? Tadi Anda menyinggung soal kepengurusan NU tidak terkonsolidasi?

Persoalan NU yang paling mendasar konstruksi organisasinya tidak berubah puluhan tahun sejak 1952, yaitu konstruksi organisasi politik. Walaupun NU sudah menyatakan keluar dari khittah, keluar dari politik praktis, tapi cara berfikirnya, bergeraknya, masih seperti itu. Ini membuat keberadaan NU sebagai organisasi nanggung, politik enggak, tapi enggak politik juga enggak. Orang-orangnya masih mikirin slot di kabinet padahal bukan partai politik. Ini nanggung semua. 

Biasanya partai politik yang ada di Indonesia, hubungan antara jenjang kepengurusan itu kan ditentukan pada soal bagaimana sumber daya politik didistribusikan. Jadi cabang taat ke wilayah karena wilayah punya otoritas mendistribusikan sumber daya. Kemudian pengurus pusat punya otoritas ke wilayah. 

Masalahnya di NU sekarang kan tidak ada sumber daya yang jelas-jelas bisa didistribusikan. Sehingga hubungan antara jenjang-jenjang yang berbeda dalam kepengurusan ini menjadi tidak teratur. Nah ini harus dibereskan dengan membangun konstruksi baru, caranya dengan menjadikan pengurus cabang ini sebagai outlet untuk eksekusi agenda-agenda nasional. 

Agenda dirumuskan di PBNU, dijabarkan dalam program-program cabang dan dieksekusi di cabang. Jadi kegiatan di cabang, enggak perlu bikin kegiatan di PBNU karena nanti fungsi PBNU adalah mencari sumber daya dari berbagai sumber untuk diredistribusi ke cabang-cabang.

Maruf Amin (kanan) bersama Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (kiri)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Apakah cara yang Anda tawarkan ini menjamin NU tidak tergiur politik praktis?

Saya sangat yakin itu jadi pemicu untuk re-positioning. Kalau soal politik praktis ini, saya sudah nyatakan sejak awal saya tidak mau jadi capres atau cawapres, dan saya tidak ingin ada capres atau cawapres dari PBNU, sehingga NU sebagai organisasi sungguh-sungguh dalam posisi tengah.

Kemudian, kita harus punya kebebasan untuk engage, untuk berhubungan dengan berbagai pihak, baik dengan pihak politik, pemerintah, swasta atau siapapun untuk membuat kerjasama yang manfaat dan maslahatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat di basis. 

Nah itu dengan sendirinya akan mendidik warga NU, pengurus NU untuk selalu bersikap terbuka pada politik. Tidak menjadi pihak atau terlibat dalam persaingan politik tapi menjadi aktor mengkatalisasi hubungan berbagai pihak politik dengan masyarakat, sekaligus mendorong tumbuhnya demokrasi sikap politik yang rasional, yang tidak hanya bicara soal identitas tapi manfaat nyata, maslahat yang betul-betul dirasakan masyarakat.

Makanya saya tawarkan kepada semua orang, kalau punya agenda politik silakan rumuskan agendanya, jabarkan ke dalam aksi-aksi di akar rumput, dan kalau mau silahkan gunakan 521 outlet NU ini, dan akan kami umumkan siapa yang melakukan kerjasama, kita umumkan bahwa ini program dari capres A, ini program dari capres B, sehingga NU ini menjadi channel untuk membawa macam-macam agenda, tentu saja kita pilih agenda mana yang memberikan maslahat kalau berbahaya ya enggak akan. Dengan sendirinya masyarakat akan melihat bahwa NU ini membawa manfaat buat mereka.

Kedua, masyarakat akan melihat oh si calon ini bawa ini, calon lainnya bawa ini, mereka bisa bandingkan secara rasional mana yang lebih manfaat mereka.

Apakah benar Anda berkomitmen untuk tidak nyapres? 

Saya ini sudah tidak minat jabatan di pemerintahan, saya kira publik sudah punya kesan itu tentang saya. Saya itu dulu oleh Gus Dur tidak boleh masuk dalam parlemen, saya nyalon DPR itu enggak boleh sama Gus Dur. Saya kira kalau nyalon presiden juga enggak boleh sama Gus Dur. 

Saya juga katakan ke teman-teman, ini bukan sombong atau apa, kalau saya mau jadi presiden saya enggak perlu jadi pengurus PBNU, saya lakukan dengan cara lain. Wakil presiden juga sama, apalagi cuma wapres, paling-paling cuma butuh simbolnya saja, saya khawatirnya begitu. 

Kalau saya mau, saya bisa mengkapitalisasi sumber daya internasional yang sudah cukup optimal jaringan internasional, kalau saya mau tinggal buat manuver-manuver internasional abis-abisan saya kira orang akan tertarik, tapi bukan itu tujuan saya. Saya punya hubungan tokoh-tokoh intelektual, politik baik di Barat dan Timur Tengah. 

Saya kira orang tahu dulu saya pernah diundang ke Gedung Putih bertemu Wapres Amerika, saya diundang ke Slovenia bertemu PM Slovenia, saya diundang ke Inggris bertemu tokoh-tokoh parlemen, dan sekarang ini sudah jadi jaringan internasional yang bisa dikapitalisasi, nah kalau saya mau ini bisa saja digunakan untuk membuat leverage seolah-olah saya pantas jadi capres, karena yang lain juga cuma seolah-olah. Itu bukan hal yang sulit dan enggak perlu jadi pengurus PBNU. 

Janji Anda tidak nyapres ini akan diingat publik, Anda bisa pegang komitmen ini?

Ya silahkan nanti dibuktikan

PBNU sekarang sudah bangun universitas, rumah sakit, apa itu bukan pencapaian dari konsolidasi, prestasi?

Betul itu pencapaian, tapi bagaimana proyek-proyek itu terhubung satu sama lain. Sekarang misalnya ada banyak perguruan tinggi didirikan atas nama NU, dari beberapa itu berapa perguruan tinggi yang terawat dan terjaga perkembangannya? Karena sebagian besar ya kurang terawat. Artinya sekarang ini hanya menciptakan proyek disana-sini tapi tidak ada pengkaitan antara satu sama lain menjadi agenda nasional yang terkonsolidasi. Disisi lain dinamika NU itu sendiri di berbagai tempat di Indonesia, lebih banyak digantungkan pada dinamika komunitas bukan dinamika organisasi. Sehingga kita bisa lihat kalau komunitas NU-nya tebal kegiatannya ramai, Jawa Timur, Jawa Tengah. Tapi kalau komunitasnya tipis tidak terjadi apa-apa, seperti di Maluku Utara itu nyaris tidak terjadi apa-apa, Sulawesi Utara, dan berbagai tempat di Indonesia, dimana komunitas NU-nya tipis nyaris tidak terjadi apa-apa, karena pengurusnya, jamiyyahnya tidak mendapatkan pemberdayaan. 

Selama ini, komunitas memberdayakan organisasi. Tapi itu tidak bisa terjadi utuh merata di seluruh Indonesia, nah tadi tugas pemberdayaan ini harusnya dilakukan oleh PBNU. PBNU harus mampu membuat strategi untuk memberdayakan cabang-cabang ini.

Anda selama ini kan duduk di kepengurusan PBNU, kenapa enggak buat ke arah situ?

Saya selama 10 tahun ini, pertama kali diajak masuk kepengurusan oleh KH Sahal Mahfudh, dan ditempatkan di suriah, suriah itu council, semacan dewan permusyawaratan kiai, sementara yang melakukan eksekusi program adalah tanfiziyah. Wacana soal konsolidasi sudah sejak awal, sejak tahun 2010, sebetulnya terus digulirkan tapi karena satu dan lain hal tidak ada aktivitas yang berarti di tanfiziyah dalam arti strategi konsolidasi sebagaimana yang saya bangun itu. 

Maka pada tahun 2011 itu membuat kesepakatan dengan GP Ansor. Tahun 2011 itu ada kongres Ansor di Surabaya dan Nusron Wahid mencalonkan sebagai calon ketua umum. Pada waktu saya bilang akan bantu meyakinkan cabang-cabang untuk milih kamu tapi saya minta kesepakatan untuk konsolidasi organisasi.

Pertama saya minta supaya kiai-kiai muda ini direkrut lagi masuk ke Ansor, karena sebelumnya sedikit sekali dari pesantren yang masuk dan terlibat dalam Ansor. Ini penting karena Ansor ini akan menjadi wahana kaderisasi para kiai-kiai muda pesantren ini sebelum nantinya mereka masuk dalam kepemimpinan NU. Kedua, saya minta ada pelatihan kader dihidupkan lagi. Ketiga, ada kegiatan di tingkat kecamatan. 

Akhirnya berhasil Nusron Wahid jadi ketua umum dan dia pegang komitmen, dan saya bersama dia menjalankan strategi bersama, dan sekarang orang bisa lihat Ansor sekarang berbeda dari 10-15 tahun lalu. Ansor lebih koheren, lebih terkonsolidasi, jadi kalau dari Jakarta bilang A sampai ke desa A. Kalau ada perintah bergerak sekarang bergerak.

Anda sempat dikecam oleh publik Indonesia saat mengunjungi Israel. Kok berani-beraninya pergi ke Israel? Apa sebenarnya misi Anda?

Orang-orang cuma tahu saya ke Israel, padahal saya bukan hanya ke Israel, saya ke Amerika, ke Mesir, ke Eropa, saya ke Inggris, saya kemana-mana. Saya punya tugas menghadirkan NU dalam berbagai titik pergualatan masalah internasional. Itu pertama. 

Kedua, saya kira orang harus ingat ya sebelum saya datang ke Yerusalem itu sudah bertahun-tahun orang lupa sama Palestina, orang sudah lupa sama isu Palestina, bukan orang dalam negeri tapi juga dunia internasional, semua proses perundingan terhenti. 

Yahya Cholil Staquf dan PM Israel Benjamin Netanyahu

Photo :
  • twitter / @netanyahu

Setelah saya datang jadi isu besar karena saya adalah pemimpin dunia Islam, apapun waktu itu kapasitas saya karena waktu itu saya sudah wantimpres, yang berani datang ke Yerusalem setelah lebih dari 30 tahun, yang terakhir datang kesana itu Gus Dur. Ini kemudian jadi isu besar tidak hanya domestik tapi juga internasional. Setelah itu bergulir lagi wacana upaya-upaya perdamaian itu. 

Masalah palestina itu sulit sekali. Saya katakan sekarang kita harus bisa pada akar masalah yaitu agama. Itu sudah disampaikan Gus Dur 16 tahun sebelumnya tahun 2002. Itu alasannya agama. Orang Islam musuhi Yahudi karena agama, orang Yahudi musuhi Islam dan Kristen karena agama. Nah sekarang ini kita harus temukan cara agar wawasan keagamaan ini bisa ditransformasikan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi permusuhan kelompok-kelompok yang berbeda. Berbeda iya, tapi enggak perlu bermusuhan. Itu dulu diselesaikan. Kalau itu belum selesai mau bicara apa saja enggak bisa. 

Hamas dan Fatah mengecam Anda juga?

Ya karena mereka belum engage secara nyata dalam proses perundingan itu sendiri. Dan memang saya tidak bicara ke mereka terlebih dahulu, karena ini adalah kesempatan yang datang begitu saja dan harus saya ambil. 

Ketika saya berada di Yerusalem selama satu minggu, saya tidak hanya engage dengan satu kelompok, saya bicara dengan banyak kelompok, saya kira soal ini sudah bertebaran video wawancara tentang kunjungan saya ke Israel. Sekarang semua bisa memahami, dan sekarang terbukti walaupun masih sangat sulit tapi pembicaraan tentang upaya-upaya perdamaian sudah bergulir lagi. 

Belum lama ini ada inisiatif kesepakatan antara israel dengan negara-negara teluk yang disebut Abraham Accord, agama-agama Ibrahim, ini inisiatif yang bagus tidak sempurna, cukup bagus untuk permulaan masih banyak lagi yang harus dilakukan. 

Tapi sekali lagi ini bukan soal Israel-Palestina tapi menghadirkan NU dalam sekian titik pergulatan internasional. 

Kalau ada orang yang tanya kapan masalah Israel-Palestina selesai enggak ada orang yang bisa jawab toh? Enggak ada yang bisa jawab, tapi orang enggak boleh berputus asa cari jalan keluar. Karena semua sudah kita lakukan, protes puluhan tahun, perang puluhan tahun, diplomasi puluhan tahun. Belum berhasil tapi enggak boleh putus asa, kita cari peluang jalan keluar. Karena masalah dunia ini bukan hanya Israel-Palestina, ada masalah melemahnya rezim tata dunia baru sesudah perang dunia kedua. Invasi AS ke Irak, invasi Rusia ke Krimea, invasi Kazakhstan ke Nobonokarfa, NU harus harus terlibat di dalamnya karena NU punya modal. NU dan Indonesia punya modal untuk ditawarkan. 

Isu Palestina ini sensitif, makanya Anda dikritik?

Untuk kepentingan siapa? Kalau cuma untuk menggalang dukungan politik di dalam negeri untuk apa? Kita harus lakukan sesuatu untuk manusia-manusia Palestina bukan hanya coblosan voting di Indonesia. 

Kalau cuma kirim bantuan semua orang bisa galang bantuan, tapi masalahnya ini bagaimana? Saya bukan mengecilkan, itu harus dilakukan tapi tidak cukup karena orang dimana pun enggak bisa hidup dengan perang abadi seperti ini. Bagaimana masa depan Palestina? Perang harus diakhiri, supaya manusia-manusia Palestina punya kesempatan membangun masa depan. Keadaan sulit sekali tapi tidak boleh putus asa.

Bagaimana reaksi kiai-kiai NU soal kunjungan Anda ke Israel?

Kalau bicara soal pandangan dari para kiai NU, saya itu pulang dari israel saya tahu harus ada penjelasan kepada kiai-kiai NU. Saya keliling ke kiai-kiai sepuh NU, ke Kiai Anwar Iskandar dan lain-lain, dan beliau enggak keberatan, artinya tidak marah, saya juga kaget kenapa enggak marah? Ada yang interogasi saya habis-habisan, Kiai Anwar Iskandar itu tanya dari A sampai Z saya jelaskan, cuma pengen tahu dan enggak ada prasangka apa-apa. Kiai-kiai ini sudah kenal saya lama. Bukan hanya itu mereka kenal ayah saya, paman saya, kakek saya, sehingga enggak ada prasangka.

Saya juga berangkat setelah dapat izin dari paman saya Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), dan beliau juga menyampaikan secara terbuka mengizinkan saya berangkat. Setelah berizin baru saya jawab undangan itu bahwa saya bersedia datang, itu sekitar sebulan sebelum keberangkatan.

Sebetulnya di kalangan NU itu orang sudah mulai berfikir lebih rasional tentang ini bahwa kita tidak boleh putus asa mencari jalan keluar. Kalau nunggu sampai Israel mengakui Palestina, lah Israel mengakui Palestina itu kan perlu proses, kan tidak tiba-tiba mengakui, butuh proses politik untuk memicu supaya prosesnya sampai Israel mengakui keberadaan Palestina. Ini masalah yang sudah lama, mendalam akarnya tapi kita tidak boleh putus asa.

Apa yang harus dilakukan Indonesia? Apakah wacana membuka hubungan dengan Israel perlu dihidupkan lagi?

Saya tidak punya rekomendasi untuk pemerintah, dalam soal Palestina Israel saya memilih memikul beban sendiri tanpa melibatkan siapa-siapa, karena ini akan lebih leluasa buat saya tanpa pihak manapun menanggung risikonya kalau ada apa-apa. Saya sekarang terlibat dialog-dialog yang intens juga dengan berbagai kalangan agama kristen di lingkaran internasional, dengan agamawan di Argentina, di Amerika, di Jerman dan sebagainya terkait masalah hubungan antar-agama yang menjadi akar persoalan di Palestina-Israel dan sekarang sedang berlangsung saya lakukan. Saya belum bisa ngomong apa targetnya, tapi proses yang saya yakin mau tidak mau harus kita tempuh kalau mau jalan keluar. Kecuali kalau kita mau industrialiasi perang ini saja, yang menguntungkan.

Kalau Anda pimpin NU maka ini salah satu inisiatif yang akan Anda lakukan? Tanpa mengajak pemerintah atau ormas Islam lain?

Ya sebagai NU jelas kita mulai dialognya sebagai NU. Kalau kemaren kan saya tidak melibatkan NU tapi saya sendiri, saya hanya hadir, orang tahu saya dari NU, itu saja. Ke depan ya harus ada strategi tersendiri secara internal, bagaimana bisa memicu wacana tentang Palestina-Israel ke arah yang konstruktif tidak cuma memanjakan sentimen kita sendiri, tapi sungguh-sungguh mencari jalan keluar bagi masyarakat Palestina itu sendiri bukan untuk kita.

Pulang dari sana ada teman tanya apa untungnya buat NU Anda ke Israel? Kok sampean tega nanya apa untungnya buat NU, sampean lihat enggak ada perang tiap hari disitu, tahu enggak tiap hari ada orang kena tembak mati disana, kok tega nanya apa untungnya buat NU. NU untung enggak untung enggak masalah, tapi ini kita ikhtiarkan jalan keluar bagi orang-orang Palestina, dan itu saya katakan terus terang kok di Israel, di Hebrew University, ini untuk Palestina, dan Anda semua tahu saya pro Palestina tapi toh Anda mengundang saya kesini. Dan itu membesarkan hati saya bahwa masih ada harapan untuk proses perdamaian, Anda mau mengundang orang yang pro Palestina seperti untuk bicara dan mendengarkan, dan mereka mau terima. 

Kan kita tidak bisa melihat orang-orang Israel monolitik, orang-orang Israel itu tidak monolitik, Israel orang-orangnya macam-macam, yang anti Netanyahu banyak, yang anti PM sekarang juga banyak, yang enggak mau perang juga banyak. Nah ini yang kita engage supaya bisa terus-menerus membangun aspirasi untuk perdamaian. 

Ada anggapan kalau lobi-lobi Yahudi Israel itu kuat, apa tidak nantinya khawatir NU dirugikan?

Sekarang ruginya dimana? Kalau mereka lobinya kuat, kuatnya dimana? Kita juga punya mulut bisa lobi. Yang kita tahu hari ini berbagai pihak di dunia membutuhkan NU kita tahu persis. Butuh untuk menggulirkan proses menuju jalan keluar dari sejumlah titik kemelut yang ada di dunia ini. 

Sekarang kalau kita bicara dunia Islam, aktor mana yang cukup besar dan ukup kuat, untuk menggulirkan kontribusi positif untuk proses jalan keluar dari kemelut dunia Islam saat ini, semua aktor bicara tetang NU. Silahkan googling, daripada saya yang menyampaikan. 

NU harus datang sebagai pemeran peradaban, dan peradaban ini sedang berada dalam masalah, NU harus berani untuk engage dengan siapa saja. Jadi kalau selama ini orang bicara soal kemandirian, menurut saya kata kuncinya bukan kemandirian, tapi kerjasama yang bermartabat dengan siapapun bermartabat. Sekarang orang tahu kita enggak bisa sembarangan diakali, karena pihak-pihak yang mereka kenal kita juga kenal, posisi kita relatif strategis.

Dalam beberapa tahun belakangan, radikalisme atau fundamentalisme Islam menguat, apa pendapat Anda?

Kalau kita melihat selama ini dalam titik yang menurut saya bukan inti persoalannya. Sekarang dalam wacana publik kan soal perdebatan dalil, pendapat mana yang lebih benar dan salah secara keagamaan, menurut saya masalahnya bukan itu tapi soal pilihan politik. Sekarang ini dunia sedang kemelut yang disitu ada pertaruhan politik dan orang harus memilih, nah sekarang kita milih apa.

Saya punya wacana soal ini ya, bahwa tata dunia yang relatif stabil dan aman yang sekarang ini, ini relatif baru dan rentang, karena baru lahir sudah perang dunia II. Sebelum itu dunia ini adalah tempat pertarungan berbagai identitas saling bertarung secara politik dan militer secara habis-habisan tanpa ada aturan sama sekali.

Sekarang kalau kita berfikir tentang Islam, Islam ini mau ikut dalam tatanan dunia baru pasca perang dunia II, atau kembali sebelum perang dunia I. Itu pertanyaannya. Mereka yang bicara tentang khilafah, mereka ingin kembali ke tatanan dunia sebelum perang dunia I, dengan negara model khilafah, negara berbasis identitas agama. Tapi kalau kita mau ikut tatanan dunia pasca perang dunia II maka kita harus ikut menerima sebagai norma dasar, seperti norma kedaulatan perbatasan, norma HAM, norma tentang demokrasi dan sebagainya. Nah ini framework tatanan dunia baru pasca perang dunia II. Orang mesti memilih, pilih yang lama.

Tatanan dunia baru ini masih sangat muda dan rentan, bahkan mengalami pelemahan. Tapi tatanan dunia baru ini adalah satu-satunya peluang untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kalau kita mau paksakan ke tatanan dunia lama risikonya keruntuhan peradaban. 

Karena kalau Anda menginginkan khilafah Islamiyah seperti tatanan dunia lama, maka Indonesia harus bubar, Malaysia bubar, Brunei bubar, Pakistan bubar, Bangladesh bubar, Saudi bubar menjadi satu tatanan khilafah. Anda mau perang berapa puluh tahun sebelum itu terjadi?

Maka saya kira saatnya kita mengikuti ikhtiar para pemimpin kita dulu, pemimpin Islam Indonesia, itu dulu sudah membuat pilihan tatanan dunia baru, nyatanya memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tugas kita sekarang ikut terlibat dengan masyarakat internasional untuk menyempurnakan, memperbaiki, supaya tatanan dunia baru ini lebih baik kedepannya walaupun sekarang banyak kekurangan tapi kita sempurnakan. Karena alternatifnya adalah perang tanpa bentuk, perang tanpa struktur, yang ujungnya peradaban runtuh seluruhnya.

Habib Rizieq Shihab

Photo :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Diakui atau tidak, beberapa tahun terakhir pengaruh Habib Rizieq sangat kuat seiring tumbuhnya radikalisme di Indonesia, bagaimana peran NU mengatasi hal ini?

Peran kita ya membangun platform agar semua orang bisa berdiskusi, berdialog dengan baik. Sekarang ini kita lihat, Habib Rizieq, FPI, sebenarnya apa yang dicari? Kalau politik, politik apa? 

Tapi begini, apapun kita boleh berbeda, soal jenggot, celana cingkrang, silahkan berbeda, tetapi tidak boleh mengganggu NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika. Kalau itu kita terima platform itu mari kita dialog kita tolerir perbedaan. Dalam politik harus lebih rasional jangan menjadikan identitas sebagai senjata politik karena berbahaya sekali.

Rasional saja. Kalau memang rebutan duit bilang aja rebutan duit, jangan bilang beriman tidak beriman. Kalau urusannya rebutan jabatan bilang aja rebutan jabatan, dengan tawaran yang rasional, kalau dapat jabatan mau melakukan apa, mau apa? Buktikan mampu mengerjakannya. Itu saja, enggak usah bicara soal identitas. 

Hubungan tokoh-tokoh NU dengan Habib Rizieq ini kan bisa dibilang enggak musuhan tapi dibilang baik juga tidak, apa ada upaya ke arah rekonsiliasi?

Ada banyak faktor, disamping mungkin namanya beda pendapat, beda pilihan politik, di tengah polarisasi yang begitu tajam, ya saya kira tugas semua orang untuk menyembuhkan luka-luka ini, dan kembali menjalin dialog supaya kedepan bisa mengembalikan harmoni dalam masyarakat kita. 

Bagaimana hubungan Anda dengan Habib Rizieq?

Saya selama ini belum pernah kenal secara pribadi dengan beliau, belum pernah ketemu, belum pernah engage secara langsung, tapi ya saya ketemu Yahudi saja bisa kok ketemu habib enggak bisa. Saya sejak kecil juga bergaul dengan habib-habib. Makanya saya pikir, kemaren saya ngobrol-ngobrol sama teman-teman, ini orang-orang Jakarta jarang ketemu habib apa ya? Kelihatan spaneng kalau melihat habib.

Padahal kami di kampung itu, teman-teman kecil saya banyak habib itu, namanya anak-anak biasa bertengkar rebutan layang-layang, kami hormat tapi berteman seperti biasa, artinya tidak ada ketegangan, ketengangan spiritual.

Saya bisa ketemu siapa saja, saya biasa ketemu habib-habib dan bisa rileks. 

Soal pencalonan ini, apakah adik Anda Gus Yaqut ada ikut mendukung dan meminta Anda membantunya dengan cara memimpin NU?

Membantu dengan cara apa? Dalam hal ini enggak jelas juga ya. Saat ini kebetulan hubungan antar lembaga ada yang tumpang tindih, karena Yaqut disamping Menteri Agama juga masih Ketua Umum GP Ansor. Ketua Umum GP Ansor itu peserta muktamar. Nah menurut saya sih, terlepas dari preferensi pribadi, wong adik saya, kalau dia dukung saya masa sih enggak maklum? Tapi selebihnya soal alami saja, karena saya juga bicara dengan semua orang, semua cabang. Alami artinnya ya kalau mereka setuju dengan saya mereka mendukung kalau tidak ya tidak. 

Tidak ada arahan khusus dari adik Anda untuk pencalonan?

Saya kira dia mengerti apa yang pantas dan tidak pantasi dia lakukan, sudah dewasa masa enggak ngerti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya