Jejak Toleransi di Masjid Jamik Sumenep Madura

Masjid Jamik Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam acara Gerakan Suluh Kebangsaan tahun 2019 lalu menyampaikan bahwa di Madura, Jawa Timur, semua agama ada. Tapi pemeluknya tetap bisa hidup dan beribadah dengan tenang tanpa merasa terancam. Termasuk di Kabupaten Sumenep, daerah paling ujung timur Pulau Madura.

Sosok Pendeta yang Ajak Jemaat Gereja War Takjil, Ternyata Mantan Boyband Pesaing SM*SH

Apa yang disampaikan Mahfud MD bukan tanpa dasar. Di Sumenep, misalnya, akar toleransi sudah terbangun sejak dahulu kala. Tidak hanya dalam hal agama, masyarakat Sumenep sudah bisa hidup berdampingan di tengah ragam beda-beda kebiasaan dan budaya. Jejaknya bisa dilihat, di antaranya di Masjid Agung atau lebih dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Masjid Jamik.

Masjid Jamik Sumenep terletak di Dalem Anyar, Bangselok, Kecamatan Kota. Lokasinya berada di sisi barat Taman Bunga atau alun-alun, dipisah ruas jalan utama. Lurus dengan masjid ke timur, terdapat sebuah keraton, menyatu dengan Pendopo Agung Sumenep yang kini difungsikan menjadi rumah dinas bupati. “Itu dulu satu kompleks,” kata pakar sejarah Sumenep, Tadjul Arifien, kepada VIVA pada Selasa, 23 November 2021.

Bikin Ngakak, Pria Ini Cium Orang yang Tertidur di Depannya Saat Hendak Sujud

Dia menjelaskan, menurut catatan sejarah Sumenep, Masjid Jamik mulai dibangun pada tahun 1779 dan selesai pada tahun 1787 di masa pemerintahan Panembahan Sumolo. Karena itu juga disebut Masjid Jamik Panembahan Sumolo. Masjid ini adalah pendukung keraton, digunakan sebagai tempat ibadah bagi keluarga keraton dan masyarakat.

Masjid Jamik, kata Tadjul, adalah masjid kedua yang dibangun keluarga Keraton Sumenep. Sebelumnya, keluarga Kerajaan Sumenep pada masa pemerintahan R Tumenggung Ario Anggadipa telah membangun Masjid Ladju (masjid lama) pada abad ke-17. Masjid Jamik kemudian dibangun karena luas dan kapasitas Masjid Ladju tak mampu lagi menampung jemaah.

Detik-detik Marhan Harahap Meninggal usai Diseret Petugas saat Akan ke Masjid

Simbol Toleransi

Masjid Jamik Sumenep bukan sekadar tempat ibadah bagi umat Islam. Ia adalah simbol toleransi. Hal itu bisa dilihat dari arsitekturnya, terutama di gapura atau pintu gerbang masjid. Tadjul menjelaskan, arsitektur bangunan masjid banyak dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura.

Gerbang utama dan bangunan dalam Masjid Jamik Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

Pada gerbang pintu masuk utama masjid, nuansa Tiongkok-nya begitu kental terasa. Bentuknya mengingatkan pengunjung pada tembok raksasa di Cina yang terbuat dari tembok dengan bentuk memanjang, mengesankan kekokohan dan keagungan.

Begitu pula dengan interior ruang Masjid Jamik Sumenep seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada dindingnya dilapisi dengan keramik porselen dari Cina. Model interior seperti ini memperlihatkan pengaruh Cina yang sangat kuat.

Sementara bangunan utama masjid secara keseluruhan terpengaruh oleh budaya Jawa pada bagian atapnya dan budaya Madura pada pewarnaan pintu utama dan jendela masjid. Sedangkan interior masjid lebih cenderung bernuansa kebudayaan Tiongkok pada bagian mihrab.

Masjid ini, menurut Tadjul, dilengkapi minaret yang desain arsitekturnya dipengaruhi kebudayaan Portugis yang mempunyai tinggi 50 meter di sebelah barat masjid, yang dibangun pada pemerintahan Kanjeng Pangeran Aria Pratamingkusuma. Di kanan dan kiri pagar utama yang masif, juga terdapat bangunan berbentuk dome atau kubah. Pada masa Pemerintahan Kanjeng Tumenggung Aria Prabuwinata, pagar utama yang cenderung masif dan tertutup, pada awalnya dimaksudkan untuk menjaga ketenangan jemaah dalam menjalankan ibadah diubah total berganti pagar besi.

Wajar arsitektur Masjid Jamik Sumenep dominan dengan corak Tiongkok. Sebab, kata Tadjul, masjid itu diarsiteki oleh seorang Tionghoa bernama Lauw Pia Ngo. Dia yang mengarsiteki pembangunan keraton dan Masjid Jamik. “Lauw Pia Ngo agamanya Konfusius (Konghucu),” kata penulis Adipati Arya Wiraraja dalam Sejarah Pemerintahan Kabupaten Sumenep itu.

Interior ruang Masjid Jamik Sumenep seperti mimbar, mihrab dan maksurah pada din

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

Leluhur Lauw Pia Ngo, Tadjul menjelaskan, seorang pelarian dalam peristiwa geger pecinan di Batavia. Keluarga Law lari hingga sampai di Pelabuhan Dungkek di ujung timur Sumenep. Dari ayahnyalah Law Pia Ngo belajar arsitek kemudian diundang oleh Panembahan Semolo untuk membangun keraton dan masjid. “Keraton dan masjid itu satu paket dikerjakan Law Pia Ngo,” katanya.

Unsur Eropa pada arsitektur Masjid Jamik adalah atas usulan pemerintah kolonial Belanda yang sudah menguasai Madura. Menurut Tadjul, itu sebagai konsekuensi politik. Hal yang menarik, pembangunan Masjid Jamik juga diikuti cerita-cerita tutur bahkan mengandung mitos. Misalnya, lolo (adonan bahan bangunan) dibuat dari serbuk batu hasil dibakar, tanah liat, dan airnya dari air la’ang (buah siwalan). “Tapi itu mitos dari tutur ke tutur,” tandas Tadjul.

Kampung Toleransi

Lepas dari itu semua, Tadjul mengatakan bahwa masyarakat setempat makin bersemangat untuk beribadah di Masjid Jamik sejak berdiri. Warga tak mempersoalkan meski masjid itu dibangun dengan arsitek seorang nonmuslim dan berkarakter Tiongkok, Jawa, Madura, dan Eropa. Sampai sekarang masjid itu tetap ramai dengan jemaah dan pengunjung wisata religi.

Klenteng, gereja dan masjid di Kampung Toleransi di Desa Pabian, Kecamatan Kota,

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA juga merasakan semangat keagamaan yang kuat saat melaksanakan salat magrib di Masjid Jamik Rabu, 17 November 2021. Terlihat jemaah berbondong-bondong ke masjid yang disebut-sebut satu di antara sepuluh masjid tertua di Indonesia itu begitu azan berkumandang. Parkiran penuh. Bukan hanya warga setempat, tapi juga ramai dengan pengunjung wisata.

Spirit toleransi di Masjid Jamik tetap terpupuk di tengah masyarakat Sumenep hingga sekarang. Salah satu tandanya ialah di Desa Pabian, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep. Desa ini terletak sekira tiga kilometer dari pusat kota ke arah timur menuju arah Pelabuhan Kalianget. Di desa ini terdapat sebuah kampung bernama Kampung Toleransi.

Klenteng, gereja dan masjid di Kampung Toleransi di Desa Pabian, Kecamatan Kota,

Photo :
  • VIVA/Nur Faishal

Sebab, di sana terdapat tiga tempat ibadah yang berdiri berdekatan, masing-masing hanya berjarak tak sampai 30 meter. Di sisi timur terdapat Klenteng Tri Dahrma Pao Siam Lim Kong sebagai tempat ibadah bagi tiga agama, yaitu Konghucu, Buddha, dan Taoisme. Hanya terpisah sekira tiga rumah ke barat, terdapat Gereja Katolik Maria Gunung Karmel yang berdiri sejak tahun 1980-an.

Lalu berjarak sekira sepuluh meter ke barat di seberang jalan, terdapat tempat ibadah umat Islam bernama Masjid Baitul Arham. Sayang, saat VIVA ke sana, tidak ada satu pun orang yang bisa ditemui di klenteng dan gereja. “Biasanya ada penjaganya, tapi mungkin keluar orangnya,” kata seorang penjual makanan di dekat Katolik Maria Gunung Karmel.

Nah, Kampung Toleransi itulah di antaranya yang dijadikan dasar oleh Mahfud MD dengan menyatakan bahwa fondasi toleransi di Madura sangat kuat, saat berbicara di forum Gerakan Suluh Kebangsaan pada 2019.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya