Logo BBC

Konflik Bersenjata Papua: Kisah Pilu Bocah Tewas Tanpa Tahu Alasannya

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Konflik bersenjata di Papua antara aparat Indonesia dan milisi pro-kemerdekaan masih terus terjadi. Masyarakat di sejumlah kabupaten, termasuk Pegunungan Bintang, Intan Jaya, dan Maybrat, meninggalkan tempat tinggal mereka untuk mencari tempat aman.

Jumlah masyarakat yang mengungsi dari konflik ini diyakini berjumlah ratusan hingga ribuan orang. Namun, data soal ini sulit diverifikasi karena akses menuju lokasi konflik yang sangat terbatas.

Pimpinan Komnas HAM yang bertugas atas dasar undang-undang, misalnya, dua kali gagal masuk ke Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, karena tak mendapat rekomendasi otoritas setempat soal keamanan.

Padahal, konflik antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Kiwirok melibatkan persenjataan perang, salah satunya adalah mortir buatan perusahaan senjata asal Serbia.

Di distrik itu pula, huru-hara pembakaran puluhan fasilitas publik terjadi pada September lalu. Sebanyak sembilan tenaga kesehatan pun diserang sekelompok orang hingga satu di antara mereka kehilangan nyawa.

Sementara di Intan Jaya, seorang anak di bawah umur, seorang perempuan, dan laki-laki paruh baya terkena peluru. Beberapa di antara mereka tewas seketika. Aparat mengklaim peluru secara tidak sengaja menyasar ke tubuh mereka.

BBC News Indonesia mengumpulkan berbagai kesaksian, baik verbal maupun yang berbentuk audio visual dari berbagai pihak di lokasi-lokasi ini. Salah satu di antaranya mengungkap adanya pihak ketiga yang diduga berperan dalam konflik ini.

Berikut adalah sepenggal peristiwa yang terjadi di wilayah paling bergolak di Indonesia ini, sejak September 2021 lalu.

Kisah bocah yang jadi korban tembak di Intan Jaya

Aksi saling serang antara aparat dan milisi yang mendambakan kemerdekaan Papua terjadi di Kampung Jogotapa, Sugapa, Intan Jaya, sejak sore. Tanggal menunjukkan 26 September 2021.

Dari segala arah, milisi TPNPB menembaki tentara dan polisi yang berada di Koramil 1705-08/Sugapa. Dengan persenjataan mereka, aparat membalas serangan itu.

Bertinus Sondegau sudah terbiasa mendengar desingan peluru dari rumahnya. Namun dia merasa ada yang berbeda dengan kontak tembak hari itu.

Bertinus dan keluarga kecilnya terjebak di antara dua pihak yang saling bertikai. Rumah mereka hanya berjarak sekitar 30 meter dari Koramil. Di dalam rumahnya, Bertinus mendengar rentetan tembakan peluru dan suara dentuman.

"Saya dengar tembakan TNI dari arah Koramil. Mereka kasih keluar semua peralatan, tembak ke kiri dan kanan, sampai tanah goyang," kata Bertinus.

Sekitar pukul sembilan malam, salah satu peluru menembus dinding rumahnya.

Peluru itu masuk dan merobek perut putranya yang belum genap berusia dua tahun, Melpianus. Akibatnya, organ di dalam perut Melpianus tumpah keluar. Tangis pecah di rumah itu. Melpianus berhenti bernafas tak lama setelahnya.

Malam itu, anak berusia enam tahun di permukiman yang sama, Yoakim Mazau, juga tertembak. Dia mampu bertahan untuk tetap hidup.

Keesokan paginya, Bertinus berjalan kaki dan membopong jenazah anaknya ke halaman Gereja Santo Petrus Agapa. Balita itu ditutupi selimut merah. Wajah Bertinus pilu. Ia mencoba menahan tangis.

Penduduk sekitar turut mengantar Melpianus menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Pastor Yeskiel Belau memimpin ibadah pemakaman sederhana untuknya.

"Terimalah dia dan anugerahkanlah kepadanya keselamatan yang kekal," ucap Pastor Yeskiel merapal doa di hadapan makam Melpianus.

Di samping peti jenazah mungil, Bertinus terus menunduk. Dia menopangkan wajah ke nisan berbentuk salib yang bertuliskan nama anaknya sambil terus-menerus sesenggukan.

Di nisan itu tertera tanggal lahir Melipanus. Selang 16 hari setelah kematiannya, Melpianus semestinya merayakan ulang tahunnya yang kedua.

Setelah pemakaman pagi itu, warga Supaga mulai mengungsi dari rumah-rumah mereka menuju ke sejumlah gereja.

Yeskiel berkata, sebagian warga secara sukarela mengungsi karena takut menjadi korban kontak tembak. Namun ada pula yang datang ke gereja setelah mendengar anjuran aparat dan milisi TPNPB. Mereka diminta keluar dari permukiman karena aksi saling tembak masih akan terus terjadi di Sugapa.

Tiga hari setelah kematian Melpianus, situasi belum mereda. Sore itu sekelompok orang yang diduga milisi TPNPB membakar sejumlah rumah di sekitar Bandara Sokopaki. Peristiwa itu kembali memicu kontak tembak.

Orang-orang yang bekerja di sekitar bandara lari menyelamatkan diri. Namun enam orang terjebak di salah satu rumah di dekat lapangan terbang itu.

Keluarga salah satu dari mereka menelepon pengurus Gereja Santo Michael. Dia berkabar, saudaranya tak berani keluar karena kontak tembak terjadi di sekitar bandara.

Pastor Yance Yogi dan Pastor Fransiskus Sondegau serta beberapa orang lain lalu bergegas menuju bandara. Gereja dan bandara berjarak 500 meter.

Setibanya di sana, Yance naik ke atas pagar. Dia meminta enam orang itu memberanikan diri untuk keluar rumah.

Kontak tembak masih masih terus berlangsung saat itu. Fransiskus berdiri di belakang Yance. Dia mengangkat salib ke udara dengan harapan tak ada peluru yang menyasar ke mereka.

Pada saat yang sama, masyarakat berlarian menuju Gereja Santo Michael. Pastor Yeskiel dan rekan-rekannya meminta warga berlindung di dalam gereja.

Aksi saling tembak belum surut ketika sebuah peluru tiba-tiba melesat beberapa sentimeter ke samping tubuh Pastor Yeskiel. Tiga hari setelah memakamkan Melpianus, Yeskiel nyaris menjadi korban berikutnya.

"Saya langsung lari ke belakang tiang di depan gereja. Peluru itu pecahkan tembok," kata Yeskiel.