Jalan Panjang RI 'Rebut' Kendali Udara Natuna dari Singapura

Petugas pengelola Air Traffic Control (ATC) di Bandara Changi Singapura
Sumber :
  • StraitsTimes

VIVA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan bersama Pemerintah Singapura akhirnya menyepakati dilakukannya penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight Information Region (FIR). Sebelumnya, layanan navigasi penerbangan pada ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna dilayani oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura.

Berlaku Progresif, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Bakal Libas 31 Pelaku Tindak Pidana

Kini, setelah dilakukan penyesuaian dan kesepakatan antara kedua negara, kendali ruang udara di Kepulauan Riau dan Natuna akan dilayani oleh Indonesia melalui Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav Indonesia).

"Alhamdulillah, hari ini merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita berhasil melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Ini bukti keseriusan Pemerintah Indonesia," kata Budi Karya dalam keterangannya yang dipantau di Jakarta, Selasa, 25 Januari 2022.

Massive Fire Hits 240 Hectares of Natuna Land

Seperti diketahui, pengelolaan FIR di wilayah NKRI oleh Singapura berawal pada tahun 1946 atau setahun setelah Republik Indonesia merdeka dari pendudukan kolonial Belanda. Pada waktu itu, Indonesia masih memiliki banyak kekurangan dari segala sektor dalam hal tata kelola penerbangan, baik dari sisi keuangan, teknologi, dan juga tenaga profesional. 

Namun, kekosongan kontrol dan pengawasan di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna membuat khawatir Singapura dan Malaysia atas ancaman dari luar jika sewaktu-waktu pesawat asing masuk ke negara mereka. 

Disetujui Singapura, Ruang Udara FIR Natuna-Kepri Kembali ke Tangan Indonesia

Berdasarkan pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) tahun 1946, menimbang meningkatnya lalu lintas pesawat di Malaka pada waktu itu dan ketidakmampuan Indonesia pada waktu itu mengatur lalu lintas udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna terbagi atas 3 Sektor A, B dan C tersebut, maka ICAO memutuskan pengelolaan atas sebagian kecil wilayah udara Indonesia (Kepri dan Natuna) diserahkan kepada Singapura yang pada saat itu masih menjadi bagian dari koloni Inggris.

Sementara Indonesia  baru resmi bergabung dengan ICAO pada 27 April 1950.

Petugas memantau kedatangan pesawat udara dari menara Pemandu Lalu Lintas Udara (ATC) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau AirNav di Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu, 19 Januari 2019.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aji Styawan

Semenjak itu, sebagian pengelolaan ruang udara wilayah barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura, yakni meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna. FIR yang dikuasai Singapura ini mencakup sekitar 100 nautical miles (1.825 kilometer). 

Akibat penguasaan Singapura, seluruh pesawat yang hendak melintas di wilayah tersebut harus melapor ke otoritas Singapura, termasuk pesawat-pesawat milik Indonesia.

Pemerintah Indonesia sejatinya sudah melakukan berbagai upaya untuk merebut kendali ruang udara di Kepri dan Natuna dari tangan Singapura. Pada tahun 1946, perairan di Kepulauan Riau dan Natuna masih berupa laut bebas. 

Masuknya lautan di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna ke dalam wilayah Indonesia diprakarsai oleh Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Sejak itu, pemerintah Indonesia mulai melakukan upaya diplomasi internasional terkait wilayah kedaulatan NKRI.

Pemerintah RI tercatat beberapa kali melakukan diplomasi terkait pengelolaan ruang udara di Kepri dan Natuna. Setelah resmi bergabung ICAO pada 1950, di forum Regional Aviation Navigation Meeting (RAN) tahun 1983 pemerintah RI untuk pertama kalinya mengajukan pengambilalihan kontrol udara Kepri dan Natuna oleh Singapura. 

Sayangnya, usulan yang diajukan Indonesia ditolak dengan alasan ketidaksiapan Indonesia baik dari sisi tenaga profesional, teknologi, maupun organisasi yang mengelola lalu lintas udara. 

Dibicarakan Bilateral

Proposal RI untuk pengambilalihan FIR Kepri dan Natuna dari Singapura pada RAN tahun 1993 di Bangkok, pun kandas. Singapura men-counter proposal RI agar tetap mengelola kontrol udara di Kepri dan Natuna. 

Alhasil, forum pada pertemuan yang diselenggarakan ICAO tersebut memutuskan agar sengketa antar kedua negara bisa dibicarakan secara bilateral. Setelah itu, setidaknya terdapat beberapa pertemuan bilateral antara Indonesia dan Singapura yang membahas masalah FIR. 

Pertemuan pertama terjadi pada tahun 2009 dan yang kedua pada awal tahun 2012 di Bali. Menurut Asisten
Atase Pehubungan Kedutaan Indonesia di Singapura, dalam pertemuan tersebut telah disepakati bahwa wilayah FIR yang dikontrol Singapura akan dikembalikan kepada Indonesia.

Presiden Jokowi bertemu dengan PM Singapura Lee Hsien Loong

Photo :
  • YouTube Sekretariat Presiden
 

Kesepakatan tersebut mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang menuntut agar Indonesia dapat melakukan kontrol terhadap wilayah udara yang dikendalikan negara lain paling lambat 15 tahun terhitung sejak UU tersebut diberlakukan pada tahun 2009.

Pada 24 November 2015, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Deputi Perdana Menteri Singapura, Teo Chee Hean di Istana Negara. Presiden Jokowi pun turut menegaskan komitmen pemerintah Indonesia untuk dapat mengambil alih kontrol atas Flight Information Region di atas ketiga blok A, B, dan C secara langsung.

Diplomasi RI-Singapura pun terus berlanjut, hingga puncaknya pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan PM Singapura Lee Hsien Loong di Pulau Bintan, Selasa, 25 Januari 2022, dalam rangka membahas upaya penguatan kerja sama bilateral di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi, politik, hukum, dan keamanan.

Dalam pertemuan tersebut, Presiden Joko Widodo mengatakan dengan adanya penandatanganan perjanjian penyesuaian FIR, maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di daerah Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna.

"Ke depan, diharapkan kerja sama penegakkan hukum, keselamatan penerbangan, dan pertahanan keamanan kedua negara dapat terus diperkuat berdasarkan prinsip saling menguntungkan," kata Presiden Jokowi.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya