Pertimbangan MK Tolak Gugatan Gatot Nurmantyo Soal Ambang Batas Capres

Ilustrasi Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Mahkamah Konstitusi atau MK, menolak gugatan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, terkait dengan presidential threshold atau PT, ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Surya Paloh: Permasalahan Pemilu Sudah Selesai

Putusan dibacakan pada Kamis 24 Februari 2022. Gatot pada intinya menggugat Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Yakni soal ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, yang harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai, 20 persen dan 25 persen.

Hakim Wahiduddin Adams saat membacakan alasan pemohon menjelaskan, bawah dengan adanya pembatasan pengajuan capres dan cawapres tersebut, menghambat kesempatan warga lain yang ingin berpartisipasi. Sehingga merasa dirugikan.

Ganjar soal Prabowo Bakal Rangkul Lawan Politik: Saya Lebih Baik di Luar Pemerintahan 

Dalam penjelasannya, Mahkamah mengatakan bahwa pemohon pada dasarnya sudah mengetahui bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas untuk pencalonan capres-cawapres pada Pemilu 2024.

"Yang hanya dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu, sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional pemohon," kata Hakim Wahiduddin Adams.

Ungkit Panasnya Debat di Pilpres 2024, Prabowo: Tapi Kita Tetap Satu Keluarga

Sementara jumlah pasangan capres-cawapres yang terbatas karena pembatasan itu, Mahkamah mengatakan tidak ada korelasi dengan norma dari Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017.

"Karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhak mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden," jelasnya.

Sebelumnya, dalam putusannya, MK menyebut bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. Walau dalam kapasitasnya, seperti pemohon Ferry bukan atas nama Partai Gerindra, sehingga tidak melampirkan persetujuan partai.

"Berdasarkan UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan seterusnya. Amar putusan, mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, dalam pembacaan amar putusan, Kamis 24 Februari 2022.

Gugatan Gatot

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi. 

Gugatan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember 2021 bernomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021. Gatot Nurmantyo menunjuk kantor hukum Refly Harun & Partners sebagai pihak kuasa hukum.  

Dalam gugatannya, pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan 'Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'

Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu dinilai telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, karena telah mengakibatkan Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu. 

Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan (vide Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV-2017, 11 Januari 2018). 

"Bahwa partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki politik)," tulisnya dalam pokok perkara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya