Klarifikasi Lengkap Kemenag soal Pernyataan 'Gonggongan Anjing' Menag

Gedung Kementerian Agama Republik Indonesia
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Kementerian Agama (Kemenag) mengklarifikasi bahwa Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tidak pernah membandingkan aturan pengeras suara dengan gonggongan anjing.

Gandeng IEP, Kemenag Buka Peluang Sinergi dengan Perguruan Tinggi Amerika

Klarifikasi tersebut disampaikan Plt Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag, Thobib Al Asyhar, menukil pemberitaan VIVA yang berjudul “Menag Bandingkan Toa Masjid dengan Gonggongan Anjing: Harus Diatur!”.

Berita dimaksud, ditayangkan VIVA pada Rabu, 23 Februari 2022, pukul 22.35 WIB, dengan alas sumbernya ANTARA.

Bertemu Majelis Masyayikh, Menag Bahas Rekognisi Santri dan Ma’had Aly

Thobib menjelaskan, pihaknya menilai secara subtantif, judul berita yang disampaikan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

“Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tidak pernah mengeluarkan statement yang memperbandingkan antara aturan pengeras suara dengan gonggongan anjing,” kata dia dalam surat hak jawab Kemenag, diterima redaksi VIVA, Jumat, 25 Februari 2022.

Kemenag Pastikan 75.572 Visa Jemaah Haji Reguler Indonesia Sudah Terbit

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Photo :
  • Kemenag

Kemenag menyoalkan penggunaan kata ‘Bandingkan’ pada judul berita. Karena kekeliruan itu, klaim Thobib, memicu kegaduhan di tengah masyarakat Indonesia. 

Kemenag dalam surat klarifikasi diterima VIVA juga menyertakan ulasan pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas di Pekanbaru, beberapa hari lalu.

Berikut transkip pernyataan Menag:

Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid- musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena kita tahu itu bagian dari syiar agama Islam. Tetapi ini harus diatur, tentu saja. Diatur bagaimana volume speaker, toanya tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai menggunakan speaker itu, sebelum azan dan setelah azan, bagaimana menggunakan speaker di dalam dan seterusnya. Tidak ada pelarangan.

Aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi mafsadat. Jadi menambah manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan.

Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan Toa nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.

Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu membunyikan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan, itu rasanya bagaimana.

Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu.

Agar niat menggunakan Toa menggunakan speaker sebagai sarana, wasilah untuk melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan, tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama dengan keyakinan kita. Berbeda keyakinan kita harus tetap hargai.

Thobib melanjutkan, berdasarkan pernyataan Menag tersebut, tidak ada kata membandingkan atau mempersamakan antara azan atau suara yang keluar dari masjid dengan gonggongan anjing.

“Menag justru mempersilahkan umat menggunakan pengeras suara di masjid dan musala untuk beragam keperluan, hanya penggunaannya diatur sesuai ketentuan dalam edaran,” kata Thobib.

Selain itu, sambung Thobib Menag menjelaskan sejumlah contoh kondisi kebisingan, bukan membandingkan satu dengan lainnya, dan hal itu dilakukan diawali dengan kata bayangkan. 

Ada tiga contoh kebisingan yang dibayangkan Menag dan sekali lagi tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya:

a. Di daerah yang mayoritas muslim, hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala-masjid.

Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan Toa nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.

b. Bayangkan lagi, saya muslim yang hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim membunyikan Toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan, itu rasanya bagaimana.

c. Kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak?

Menurut Thobib, dari tiga contoh kebisingan itu, Menag mengambil benang merah bahwa suara-suara, apa pun suara itu, harus diatur supaya tidak menjadi gangguan.

“Jadi Judul berita “Menag Bandingkan Toa Masjid dengan Gonggongan Anjing: Harus Diatur!” itu misleading dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya,” imbuhnya.

Baca juga: Kemenag: Aturan Pengeras Suara di Masjid Bukan Batasi Dakwah

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya