Dokter Terduga Teroris Tewas Ditembak, Harits Abu Kritik Densus 88

Densus 88 membawa terduga teroris Taufik Bulaga alias Upik Lawanga.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

VIVA – Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Polri menembak mati seorang terduga teroris berinisial SU, yang berprofesi sebagai dokter di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah pada Rabu, 9 Maret 2022. Ditembaknya SU saat penangkapan ini membuat Densus dikritik.

Densus 88 Polri Tangkap 7 Terduga Teroris di Sulteng

Direktur The Community of Ideological Islamict Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya memberikan beberapa catatan yang perlu jadi perhatian. Menurut dia, tewasnya SU menambah daftar panjang terduga teroris yang tewas saat penangkapan oleh Densus 88.

"Dan masuk kategori ekstra judicial killing. Dalam 10 tahun terakhir lebih dari 150 an orang tewas di tangan Densus 88 dengan kategori ekstra judicial killing," kata Harits Abu, dalam keterangannya, Jumat, 11 Maret 2022.

Dorong TNI Tindak Tegas OPM, Bamsoet: Negara Tidak akan Kalah dengan Kelompok Separatis

Dia mengingatkan amanat UU, terduga teroris itu mesti ditangkap dan dibawa ke peradilan. Kemudian, biar pengadilan nanti yang memutuskan hukuman terbaik atas setiap tindak pidana seseorang. 

"Kalau baru terduga tapi sudah tewas. Bagaimana konsistensi terhadap criminal justice system?" tuturnya.

Dukung TNI Pakai Istilah OPM, Bamsoet: Urusan HAM Bicarakan Kemudian, Saya Siap Pasang Badan

Harits menyinggung dengan kejadian tewasnya terduga teroris saat penangkapan berarti kemungkinan ada persoalan aparat saat di lapangan.

"Kasus yang berulang seperti ini mengisaratkan ada persoalan pada kredibilitas, profesionalitas dan kontrol atas aparat di lapangan," ujar pengamat terorisme itu. 

Direktur The Community of Ideological Islamict Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya.

Photo :
  • Istimewa

Pun, dia setuju dengan usulan agar tiap anggota Densus saat operasi penindakan dilengkapi kamera melekat. Usulan ini agar setiap langkah dan tindakan personel Densus yang dinyatakan tegas dan terukur itu bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.  

"Dan secara internal atau oleh tim pengawas bisa dilakukan evaluasi demi perbaikan ke depannya," jelas Harits.

Kemudian, ia mengingatkan tindakan kekerasan aparat terhadap terduga berpotensi jadi trigger atau pemicu di kemudian hari lahirnya aksi kekerasan. Aksi itu berpotensi menyasar aparat kepolisian karena alasan dendam.  

"Terorisme harus di berantas, tapi tidak boleh mengabaikan hak-hak dasar setiap manusia," tuturnya.

Dia menjelaskan merujuk UU terorisme dalam Pasal 43J ayat 1 dan 2 yang mesti dilaksanakan DPR, yaitu tim pengawas harus dibentuk. Kata dia, fungsi tim pengawas ini untuk mengontrol terhadap semua institusi yang terlibat dalam proyek terorisme. 

"Dengan harapan aparat pada saat law enforcement bisa proporsional dan on the track sesuai norma hukum, norma agama, dan menjamin hak-hak prinsip setiap warga negara," ujar Harits.

"Demikian juga, bisa menghindari semaksimal mungkin terjadinya  abuse of power dan over eksesif oleh aparat di lapangan," katanya.

Lebih lanjut, ia menyoroti klaim sepihak dari sumber Polri bahwa saat penangkapan terjadi perlawanan dari terduga teroris jadi sulit dibuktikan kebenarannya. Sebab, terduga teroris sudah tewas ditembak.

"Kecuali yang tewas dihidupkan lagi dan diberi kesempatan bersaksi apakah benar klaim dari aparat. Atau ada saksi di luar aparat yang menyaksikan peristiwa penangkapan tersebut di TKP. Ini juga tidak mudah untuk menghadirkan," sebutnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya