W20 Diwarnai Aksi Greenpeace di Danau Toba, Ini Tuntutannya

Aksi Greenpeace di Danau Toba pada gelaran W20.
Sumber :
  • istimewa

VIVA Nasional – Hari kedua kegiatan Women20 (W20) diwarnai aksi unjuk rasa secara damai oleh sejumlah aktivis tergabung dalam Greenpeace Indonesia. Aksi tersebut, dilakukan di perairan Danau Toba, Sumatera Utara, Rabu 20 Juli 2022.

Pelari Indonesia, Malaysia Hingga Amerika Siap Bertarung di Trail of The Kings Danau Toba 2024

Para aktivis ini, membentangkan banner raksasa terapung di perairan danau terbesar di Asia Tenggara dengan tulisan 'Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi' terapung di atas Danau Toba. Banner tersebut dibentangkan oleh sejumlah aktivis serta para perempuan pedesaan Toba. 

"Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya," sebut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, Rabu 20 Juli 2022.

Puncak Arus Balik Lebaran di Sumut Berlangsung Selama 3 Hari

Baca juga: Habib Rizieq Bebas Hari Ini

Sekar menilai banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar.

Geopark Kaldera Toba, Situs Diakui UNESCO yang Miliki Ragam Aktivitas Wisata

"Hal itu, demi meraup keuntungan semata," tutur Sekar.

Perempuan adat di tanah Sumatera Utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender. 

Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan. 

Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menuturkan, kelompok perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan, serta seringkali juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria.

"Meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba. Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani. Perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran PT TPL merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan," jelas Rocky.

Para delegasi W20 tiba di Bandara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Photo :
  • VIVA.co.id/ B.S. Putra (Medan)

Kehadiran dua perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Dairi Prima Mineral (DPM) telah lama merenggut hak-hak perempuan pedesaan di wilayah Toba dan menghancurkan hutan kemenyan.

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam. Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate. Proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang, nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal. Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar. 

Para delegasi W20 tiba di Bandara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Photo :
  • VIVA.co.id/ B.S. Putra (Medan)

Proyek ini, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja.

Negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia di mana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim. 

Indonesia sebagai pemegang Presidency G20 harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan  model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak- hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya