Publik Diminta Kawal Kasus Brigadir J Sesuai Data, Bukan Opini Medsos

Prarekonstruksi penembakan Brigadir J di Rumah Irjen Ferdy Sambo
Sumber :
  • VIVA / Andrew Tito (Jakarta)

VIVA Nasional – Kasus penembakan sesama anggota polisi antara Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan Bharada RE (E) masih menjadi sorotan publik. Kasus baku tembak terjadi di rumah Kepala Divisi Propam nonaktif Irjen Ferdy Sambo, Kompleks Polri, Duren Tiga pada Jumat, 8 Juli 2022.

Oknum Anggota Polisi di Bone Pakai dan Edarkan Sabu-sabu ke Warga

Berbagai informasi beredar di media sosial, bahkan tak terbendung tanpa disertakan bukti maupun data terkait peristiwa baku tembak di rumah perwira tinggi (Pati) Polri atau jenderal bintang dua itu. Untuk itu, publik harus mewaspadai tsunami informasi terkait kasus Brigadir J di media sosial.

Founder KlinikDigital.org, Devie Rahmawati mengatakan tak bisa dipungkiri informasi di media sosial bergerak bagaikan tsunami dalam kasus Brigadir J. Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.

Kronologi Pembubaran Kegiatan Ibadah Berujung Pengeroyokan di Tangsel

“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut. Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” kata Devie saat dihubungi wartawan pada Selasa, 26 Juli 2022.

Saat ini, kata dia, proses penyelidikan kasus Brigadir J terus berlangsung dengan mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya. Bahkan, Komnas HAM pun sempat menyampaikan ada kejanggalan dari pengungkapan kasus Brigadir J tersebut.

Inkracht! Jaksa Eksekusi 2 Polisi Terkait Tragedi Kanjuruhan

Namun, yang mengkhawatirkan dari apa yang terjadi adalah tuduhan di awal informasi viral yang sungguh merusak. Bukan saja reputasi seseorang, kata dia, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut. Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.

“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir Y. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data obyektif,” jelas dia.

Menurut dia, tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka. Akan tetapi, ia tak menampik pergeseran cepat informasi ini, banyak menghasilkan informasi positif dan membangun.

“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” ujarnya.

Pada hakikatnya, kata Devie, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan. Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.

“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” ucapnya.

Di universe digital, Devie mengatakan watak manusia Indonesia yang dulu ramah bahkan berubah menjadi marah dan dikenal sebagai masyarakat yang berang, bukan yang tenang. Menurutnya, watak baru manusia Indonesia di ruang digital ini sering kemudian bertemu dengan fenomena cancel culture.

“Sehingga, aksi pemboikotan berbasis praduga tanpa data ini berujung menjadikan cancel culture sebagai cancer culture dalam masyarakat, yang bisa membunuh hidup dan penghidupan seseorang. Cancel culture adalah fenomena menafikan atau mengasingkan sosok, kelompok, atau produk tertentu,” tandasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya