Polri: Penegakan Hukum Dilakukan Secara Ilmiah

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo.
Sumber :

VIVA Nasional - Polri menyatakan bahwa penegakan hukum dilakukan dengan berbasis profesionalisme serta pendekatan ilmiah (scientific approach), seperti kedokteran forensik dan forensik digital.

MK Tak Pertimbangkan Amicus Curiae yang Masuk Lewat dari Tanggal 16 April 2024

"Proses penegakan hukum dan keadilan merupakan usaha ilmiah, bukan sekedar common sense, non scientific belaka," kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo, dalam sebuah diskusi bertema "Optimalisasi Forensik Digital Pada Penguatan Penegakan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Keadilan" di Jakarta, dikutip pada Jumat, 5 Agustus 2022.

Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo

Photo :
  • Polri
Jokowi Ungkap Skandal Pencucian Uang Lewat Kripto hingga Rp 139T

Bantuan Dokter

Oleh karena itu, lanjut Dedi, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan ilmu kedokteran forensik dan medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.

Keluarga Lettu Agam Buka Suara soal Isu Perselingkuhan yang Viral di Medsos

Sedangkan forensik digital mengungkap dan menafsirkan data secara elektronik, yang membutuhkan standar yang ketat untuk menghadapi pemeriksaan silang di pengadilan.

Ilustrasi Jenazah tiba di rumah sakit.

Photo :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Ilmu Pengetahuan Bisa Jadi Barang Bukti

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina AFDI Kombes Pol. Mohammad Nuh Al Azhar, menyatakan science bisa menjadikan barang bukti bicara dan menghubungkannya dengan sisi legal.

"Jadi science yang mempertanggung jawabkan temuan penyidik saat di pengadilan, terutama saat dicecar hakim," katanya.

Tidak Bekerja Sendiri

Namun Nuh menegaskan science tidak bisa bekerja sendiri, perlu sebuah tim untuk memecahkan puzzle yang jadi pertanyaan publik.

Waspadai Informasi Sesat

Sedangkan, pakar komunikasi, Devi Rahmawati, mengingatkan masyarakat akan perlunya mewaspadai banjirnya informasi sesat yang disebarkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab melalui media sosial.

Ilustrasi media sosial.

Photo :
  • U-Report

"Masyarakat sekarang hidup dalam rezim kecepatan informasi bukan ketepatan. Akibatnya, informasi sesat yang melimpah di media sosial diterima begitu saja, tidak disaring dengan baik," kata Devi.

Sedih dengan Wajah Masyarakat Indonesia di Medsos

Akademisi Universitas Indonesia ini sedih karena wajah masyarakat Indonesia di medsos lebih banyak sebagai pemarah, suka memboikot, dan cenderung langsung menghakimi tanpa data yang kuat.

Meskipun sudah banyak yang ditindak secara hukum, menurut Devi, sifat dan perilaku netizen Indonesia masih tidak berubah. Akibatnya, polarisasi di masyarakat tidak hanya terjadi di politik tetapi terjadi di hampir semua sendi kehidupan.

Devi berharap adanya upaya bersama mengatasi penyebaran informasi sesat melalui medsos sebagai wujud tanggung jawab bersama untuk masa depan yang lebih baik.

Ketua Dewan Pembina AFDI Kombes Pol Mohammad Nuh Al Azhar sepakat dengan sinyalemen Devi Rahmawati. Untuk itu, Nuh berharap masyarakat bijak dalam menggunakan medsos.

"Jangan mudah memvonis atau berspekulasi jika tidak tidak memiliki data dan bahan analisa yang kuat, karena itu bisa merugikan orang lain dan diri sendiri," kata Nuh.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya